Gambar Sampul SEJARAH · Bab 2 Demokrasi Parlementer (1950-1959)
SEJARAH · Bab 2 Demokrasi Parlementer (1950-1959)
Abdurakhman, Arif Pradono, Linda Sunarti dan Susanto Zuhdi

22/08/2021 10:24:27

SMA 12 K-13 revisi 2018

Lihat Katalog Lainnya
Halaman

47

Sejarah Indonesia

BAB II

Sistem dan Struktur Politik

dan Ekonomi Indonesia

Masa Demokrasi

Parlementer (1950-1959)

Sumber:

30 Tahun Indonesia

Merdeka 1950–1964

, 1981

48

Kelas XII SMA/MA

Tahukah kalian, bahwa periode antara tahun 1950-1959 dalam sejarah

Indonesia disebut sebagai sistem Demokrasi Palementer yang memperlihatkan

semangat belajar berdemokrasi. Oleh karena itu, sistem pemerintahan yang

dibangun mengalami kendala yang mengakibatkan jatuh bangun kabinet.

Periode ini disebut oleh Wilopo, salah seorang perdana menteri di era tersebut

(1952-1953) sebagai zaman pemerintahan partai-partai. Banyaknya partai-

partai dianggap sebagai salah satu kendala yang mengakibatkan kabinet/

pemerintahan tidak berusia panjang dan silih berganti. Sebagaimana pendapat

Wilopo yang menyebut Demokrasi Parlementer sebagai zaman liberal:

“... zaman kabinet silih berganti, zaman yang melalaikan pembangunan

berencana. Itulah biasanya menjadi sebutan zaman ini”. (Wilopo, 1978)

Namun demikian periode tersebut sesungguhnya tidak hanya menampilkan

segi negatif saja melainkan juga terdapat berbagai segi positif sebagai bentuk

pembelajaran berdemokrasi. Lebih lanjut Wilopo menegaskan bahwa:

Sebaliknya harus diakui, bahwa zaman itu telah menjadi sebagian sejarah kita

sejak merdeka dan berlangsung

hampir satu dasa warsa, serta banyak unsur-

unsur di dalamnya yang patut kita pelajari lebih mendalam. (Wilopo, 1978).

Ketika pemerintahan Republik Indonesia Serikat dibubarkan pada

Agustus 1950, RI kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perubahan bentuk pemerintahan diikuti pula dengan perubahan undang-

undang dasarnya dari Konstitusi RIS ke UUD Sementara 1950. Perubahan

ke UUD Sementara ini membawa Indonesia memasuki masa Demokrasi

Liberal. Masa Demokrasi Liberal di Indonesia memiliki ciri banyaknya partai

politik yang saling berebut pengaruh untuk memegang tampuk kekuasaan.

Hal tersebut membawa dampak terganggunya stabilitas nasional di berbagai

bidang kehidupan.

Perlu kalian ketahui bahwa sistem multi partai di Indonesia diawali dengan

maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945, setelah mempertimbangkan

usulan dari Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat. Pemerintah pada

awal pendirian partai-partai politik menyatakan bahwa pembentukan partai-

partai politik dan organisasi politik bertujuan untuk memperkuat perjuangan

revolusi, hal ini seperti yang disebutkan dalam maklumat pemerintah yang

garis besarnya dinyatakan bahwa:

1)

Untuk menjunjung tinggi asas demokrasi tidak dapat didirikan hanya

satu partai.

2)

Dianjurkan pembentukan partai-partai politik untuk dapat mengukur

kekuatan perjuangan kita.

49

Sejarah Indonesia

3)

Dengan adanya partai politik dan organisasi politik, memudahkan

pemerintah mudah untuk minta tanggung jawab kepada pemimpin-

pemimpin barisan perjuangan. (Wilopo, 1978).

Maklumat itu kemudian memunculkan partai-partai baru. Dari sinilah

Indonesia mulai mengubah sistem pemerintahan dari Presidensial ke

Parlementer yang diawali dengan Kabinet Syahrir.

Mari kita lihat suasana pada masa Demokrasi Liberal yang berlangsung

dari 1950-1959. Pada era itu ada tujuh kabinet yang memegang pemerintahan,

sehingga hampir setiap tahun terjadi pergantian kabinet. Jatuh bangunnya

kabinet ini membuat program-program kabinet tidak dapat dilaksanakan

sebagaimana mestinya. Kondisi inilah yang menyebabkan stabilitas nasional

baik di bidang politik, ekonomi, sosial maupun keamanan terganggu. Kondisi

ini membuat Presiden Soekarno, dalam salah satu pidatonya mengatakan

bahwa “sangat gembira apabila para pemimpin partai berunding sesamanya

dan memutuskan bersama untuk mengubur partai-partai”. Soekarno bahkan

dalam lanjutan pidatonya menekankan untuk melakukannya sekarang juga.

Pernyataan Soekarno membuat hubungannya dengan Hatta semakin renggang

yang akhirnya dwi tunggal menjadi tanggal ketika Hatta mengundurkan diri

sebagai wakil presiden. (Anhar Gonggong, 2005)

Perlu kalian ketahui pula bahwa Soekarno Hatta merupakan pemimpin

dengan dua tipe kepemimpinan yang berbeda. Herberth Feith menyebut

Soekarno sebagai pemimpin yang bertipe

solidarity maker

(pembuat

persaudaraan/persatuan). Soekarno berpendapat bahwa revolusi itu belum

selesai, sehingga perlu membuat simbol-simbol untuk menyatukan rakyat

untuk menjalankan revolusi. Sedangkan Hatta oleh Feith disebutnya pemimpin

dengan tipe administrator. Hatta berpendapat bahwa revolusi itu sudah selesai,

untuk itu kita harus segera membangun negeri ini dengan mencari solusi agar

pembangunan bisa berjalan dengan baik.

Pada era ini, Indonesia menjalankan pemilihan umum pertama yang

diikuti oleh banyak partai politik. Pemilu 1955 merupakan tonggak demokrasi

pertama di Indonesia. Pemilu ini dilaksanakan untuk memilih anggota Parlemen

dan anggota Konstituante. Konstituante diberi tugas untuk membentuk UUD

baru menggantikan UUD Sementara. Sayangnya beban tugas yang diemban

oleh Konstituante tidak dapat diselesaikan. Kondisi ini menambah kisruh

situasi politik pada masa itu sehingga mendorong Presiden Soekarno untuk

mengeluarkan Dekret Presiden pada 5 Juli 1959. Dekret tersebut membawa

Indonesia mengakhiri masa Demokrasi Parlementer dan memasuki Demokrasi

Terpimpin.

50

Kelas XII SMA/MA

Peta Konsep

Perkembangan Politik dan Ekonomi Masa

Demokrasi Parlementer

Perkembangan

Politik dan

Ekonomi Masa

Reformasi

Sistem

Pemerintahan

Pemikiran Ekonomi

Nasional

Sistem

Kepartaian

Sistem Ekonomi

Liberal

Perkembangan

Politik

Mencari Sistem

Ekonomi Nasional

Pemilu 1955

Hikmah lagi

Membahas

tentang

Mengenai

51

Sejarah Indonesia

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mempelajari uraian ini, diharap kamu dapat:

1.

Menjelaskan perkembangan kabinet yang berlangsung selama

masa Demokrasi Parlementer 1950-1959.

2.

Menganalisis sistem kepartaian yang berlangsung pada masa

Demokrasi Parlementer.

3.

Membandingkan pelaksanaan Pemilu pada masa Demokrasi

Parlementer dengan pemilu pada masa Reformasi.

4.

Menjelaskan kebijakan dan sistem

ekonomi pada masa Demokrasi

Parlementer.

ARTI PENTING

Mempelajari sistem demokrasi parlementer yang berlangsung di

Indonesia pada tahun 1950-an, dapat memberikan pembelajaran pada

kita tentang bagaimana bangsa Indonesia belajar berdemokrasi pada

masa awalnya. Hal ini tentu saja dapat menjadi hikmah bagi kita di

tengah kehidupan demokratis yang kini tengah berlangsung. Begitu

pula dengan sistem ekonomi nasional yang diberlakukan. Penerapan

kebijakan di bidang ekonomi dalam suasana demokratis seperti pada

tahun 1950-an tentu dapat menjadi pembelajaran kesejarahan yang

positif bilamana kita hendak membandingkannya dengan konteks

kekinian.

52

Kelas XII SMA/MA

A. Perkembangan Politik Masa Demokrasi Liberal

Mengamati Lingkungan

Sumber: Atlas Nasional (2012)

Gambar 2.1 Partai Peserta Pemilu 1955.

Perhatikan gambar di atas!

1.

Apa komentar kamu tentang banyaknya partai politik di Indonesia?

2.

Coba kamu diskusikan dengan guru, dampak banyaknya partai politik

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara!

1.

Sistem Pemerintahan

Bangsa kita sebenarnya adalah bangsa pembelajar. Indonesia sampai dengan

tahun 1950-an telah menjalankan dua sistem pemerintahan yang berbeda, yaitu

sistem presidensial dan sistem parlementer. Tidak sampai satu tahun setelah

kemerdekaan, sistem pemerintahan presidensial digantikan dengan sistem

pemerintahan parlementer. Hal ini ditandai dengan pembentukan kabinet

parlementer pertama pada November 1945 dengan Syahrir sebagai perdana

menteri. Sejak saat itulah jatuh bangun kabinet pemerintahan di Indonesia

terjadi. Namun pelaksanaan sistem parlementer ini tidak diikuti dengan

perubahan UUD. Baru pada masa Republik Indonesia Serikat pelaksanaan

sistem parlementer dilandasi oleh Konstitusi, yaitu Konstitusi RIS. Begitu

juga pada masa Demokrasi Liberal, pelaksanaan sistem parlementer dilandasi

oleh UUD Sementara 1950 atau dikenal dengan Konstitusi Liberal.

53

Sejarah Indonesia

Ketika Indonesia kembali menjadi negara kesatuan,

UUD yang digunakan sebagai landasan hukum Republik

Indonesia bukan kembali UUD 1945, sebagaimana

yang ditetapkan oleh PPKI pada awal kemerdekaan,

namun menggunakan UUD Sementara 1950. Sistem

pemerintahan negara menurut UUD Sementara 1950

adalah sistem parlementer. Artinya, kabinet disusun

menurut perimbangan kekuatan kepartaian dalam

parlemen dan sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh

wakil-wakil partai dalam parlemen. Presiden hanya

merupakan lambang kesatuan saja. Hal ini dinamakan pula Demokrasi

Liberal, sehingga era ini dikenal sebagai zaman Demokrasi Liberal. Sistem

kabinet masa ini berbeda dengan sistem kabinet RIS yang dikenal sebagai

Zaken

Kabinet.

Salah satu ciri yang nampak dalam masa ini adalah sering terjadi

penggantian kabinet. Mengapa sering terjadi pergantian kabinet? Hal ini

terutama disebabkan adanya perbedaan kepentingan di antara partai-partai

yang ada. Perbedaan di antara partai-partai tersebut tidak pernah dapat

terselesaikan dengan baik sehingga dari tahun 1950 sampai tahun 1959

terjadi silih berganti kabinet mulai Kabinet Natsir (Masyumi) 1950-1951;

Kabinet Sukiman (Masyumi) 1951-1952; Kabinet Wilopo (PNI) 1952-1953;

Kabinet Ali Sastroamijoyo I (PNI) 1953-1955; Kabinet Burhanuddin Harahap

(Masyumi) 1955-1956; Kabinet Ali Sastroamijoyo II (PNI) 1956-1957; dan

Kabinet Djuanda (Zaken Kabinet) 1957-1959.

Kalau kita perhatikan garis besar perjalanan kabinet di atas, nampak bahwa

mula-mula Masyumi diberi kesempatan untuk memerintah, kemudian PNI

memegang peranan terutama setelah Pemilihan Umum 1955. Namun PNI pun

tidak bisa bertahan lama karena tidak mampu menyelesaikan permasalahan

yang dihadapi yang akhirnya dibentuk zaken kabinet di bawah pimpinan

Ir. Djuanda.

Kabinet-kabinet tersebut pada umumnya memiliki program yang tujuannya

sama, yaitu masalah keamanan, kemakmuran, dan masalah Irian Barat (saat

ini Papua dan Papua Barat). Namun, setiap kabinet memiliki penekanan

masing-masing, kabinet yang dipimpin Masyumi menekankan pentingnya

penyempurnaan pimpinan TNI, sedangkan kabinet yang dipimpin oleh PNI

sering menekankan pada masalah hubungan luar negeri yang menguntungkan

perjuangan pembebasan Irian Barat dan pemerintahan dalam negeri.

Apabila kita teliti kabinet-kabinet tersebut satu persatu maka akan

nampak hal-hal yang menarik. Kabinet Natsir (1950-1951), ketika menyusun

PENGAYAAN

Coba kamu

cari tahu apa

yang dimaksud

dengan zaken

kabinet.

54

Kelas XII SMA/MA

kabinetnya, Natsir bermaksud menyusun kabinet dengan melibatkan sebanyak

mungkin partai agar kabinetnya mencerminkan sifat nasional dan mendapat

dukungan parlemen yang besar. Namun pada kenyataannya, Natsir kesulitan

membentuk kabinet seperti yang diinginkan, terutama kesulitan dalam

menempatkan orang-orang PNI dalam kabinet. Sehingga Kabinet Natsir

yang terbentuk pada 6 September 1950, tidak melibatkan PNI di dalamnya.

PNI menjadi oposisi bersama PKI dan Murba.

Latar belakang masalah dalam pembentukan kabinet sering kali menjadi

faktor yang menyebabkan goyah dan jatuhnya kabinet. Hal ini terlihat ketika

Kabient Natsir menjalankan pemerintahannya, kelompok oposisi segera

melancarkan kritik terhadap jalannya pemerintahan Natsir. Kabinet Natsir

dihadapkan pada mosi Hadikusumo dari PNI yang menuntut agar pemerintah

mencabut Peraturan Pemerintah No 39. tahun 1950 tentang pemilihan

anggota lembaga perwakilan daerah. Lembaga-lembaga perwakilan daerah

yang sudah dibentuk atas dasar Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 1950

oleh Kabinet Hatta, supaya diganti dengan undang-undang yang baru yang

bersifat demokratis karena dalam PP. No. 39 dalam menentukan pemilihannya

dilakukan secara bertingkat. Berdasarkan pemungutan suara di parlemen,

mosi Hadikusumo mendapat dukungan dari parlemen. Hal ini menyebabkan

menteri dalam negeri mengundurkan diri. Kondisi ini menyebabkan hubungan

kabinet dengan parlemen tidak lancar yang akhirnya menyebabkan Natsir

menyerahkan mandatnya kepada Soekarno pada 21 Maret 1951.

Jatuhnya Kabinet Natsir, membuat Presiden Soekarno mengadakan

pembicaraan dengan para pemimpin partai untuk memilih tim formatur

kabinet yang kemudian menghasilkan Kabinet Sukiman pada tanggal 26 April

1951. Berbeda dengan kabinet sebelumnya yang tidak melibatkan PNI dalam

pemerintahannya, kabinet Sukiman berhasil melibatkan PNI di dalamnya,

sehingga Kabinet Sukiman didukung oleh dua partai besar, Masyumi dan

PNI. Partai-partai pendukung Kabinet Sukiman, melalui menteri-menterinya

yang duduk dalam pemerintahan, berusaha merealisasi program politik

masing-masing, meskipun kabinet telah memiliki program kerja tersendiri.

Hal ini merupakan benih-benih keretakan yang melemahkan kabinet. Sebagai

contoh adalah Menteri Dalam Negeri Mr. Iskaq (PNI) yang menginstruksikan

untuk menonaktifkan DPRD-DPRD yang terbentuk berdasarkan Peraturan

Pemerintah No. 39/ 1950. Selain itu, Iskaq juga mengangkat orang-orang PNI

menjadi Gubernur Jawa Barat dan Sulawesi. Tindakan ini yang menimbulkan

pertikaian politik dan konflik kepentingan.

Kebijakan lain yang menimbulkan masalah dalam hubungan antara

pemerintah dan parlemen adalah ketika Menteri Kehakiman, Muhammad

55

Sejarah Indonesia

Yamin, membebaskan 950 orang tahanan SOB (

Staat van Oorlog en Beleg

,

negara dalam keadaan bahaya perang) tanpa persetujuan perdana menteri

dan anggota kabinet lainnya. Kebijakan ini ditentang oleh Perdana Menteri

Sukiman dan kalangan militer yang mengakibatkan Muhammad Yamin

meletakkan jabatannya sebagai menteri kehakiman.

Kondisi Kabinet Sukiman semakin terguncang ketika muncul mosi

tidak percaya dari Sunarjo (PNI). Munculnya mosi ini berkaitan dengan

penandatanganan perjanjian

Mutual Security Act

(MSA) antara Menteri Luar

Negeri Achmad Subardjo dan Merle Cochran, Duta Besar Amerika Serikat.

Hal ini berawal dari nota jawaban yang diberikan Subardjo terhadap Cochran

yang berisi pernyataan bahwa Indonesia bersedia menerima bantuan dari

Amerika Serikat berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan dalam MSA.

Nota menteri luar negeri ini memiliki kekuatan seperti suatu perjanjian

internasional. Tindakan Subardjo ini dianggap sebagai suatu langkah

kebijaksanaan politik luar negeri yang dapat memasukkan Indonesia ke dalam

lingkungan strategi Amerika Serikat, sehingga menyimpang dari asas politik

luar negeri bebas aktif. Mosi ini kemudian disusul oleh pernyataan PNI

agar kabinet mengembalikan mandatnya kepada presiden untuk mengatasi

kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Akhirnya, dengan didahului pengunduran

diri Achmad Subardjo selaku Menteri Luar Negeri, Sukiman pun kemudian

menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 23 Februari 1952.

Kalau dibandingkan dengan Kabinet Natsir, dalam Kabinet Sukiman jelas

menunjukkan bahwa partai-partailah yang memegang pemerintahan. Mulai

dari menyusun program, portopolio, komposisi personalia, pelaksanaan dan

tanggung jawab serta cara penyelesaian masalah sepenuhnya terletak di tangan

partai. Partai-partai yang ada pada waktu itu belum nampak menonjolkan

ideologi masing-masing, perhatiannya masih ditujukan pada pemecahan

masalah-masalah praktis yang dihadapi.

Kemudian Presiden Soekarno memberikan mandat kepada golongan

moderat dari PNI sehingga terbentuk kabinet Wilopo pada 30 Maret 1952.

Kabinet ini mendapat dukungan yang lebih luas dibandingkan dengan kabinet

sebelumnya, yaitu dengan masuknya PSI dan PSII dalam pemerintahan.

Dukungan ini memperkuat upaya kabinet dalam memperoleh dukungan

mayoritas di Parlemen. Kondisi ini mempengaruhi iklim politik dalam

kabinet dan juga hubungan antarpartai. Ikut sertanya PSII dan Parindra

dalam pemerintahan, dan karena PKI, sejak Kabinet Amir Syarifuddin, selalu

menjadi oposisi, mendukung Kabinet Wilopo, maka Badan Permusyawaratan

56

Kelas XII SMA/MA

Partai-partai (PKI, PSII, Perti, Partai Buruh, Partai Murba, Permai, Partai Tani

Indonesia, PRN, Parindra, Partai Rakyat Indonesia dan Partai Indo Nasional)

kehilangan artinya dan menghentikan kegiatan-kegiatannya. Dengan adanya

hubungan politik baru ini, praktis berakhirlah

aksi-aksi pemogokan yang banyak terjadi pada

masa pemerintahan Kabinet Sukiman.

Kabinet ini memiliki tugas pokok

menjalankan persiapan pemilihan umum

untuk memilih anggota parlemen dan anggota

konstituante. Namun sebelum tugas ini dapat

diselesaikan, kabinet ini harus meletakkan

jabatannya. Faktor yang menyebabkannya

antara lain peristiwa 17 Oktober 1952.

Pada saat itu ada desakan dari pihak tertentu

agar Presiden Soekarno segera membubarkan

Parlemen yang tidak lagi mencerminkan

keinginan rakyat. Peristiwa ini dimanfaatkan

oleh golongan tertentu dalam tubuh TNI-AD

untuk kepentingan sendiri. Kelompok ini

tidak menyetujui Kolonel Nasution sebagai

KSAD. Pihak-pihak tertentu dalam parlemen

menyokong dan menuntut agar diadakan

perombakan dalam pimpinan Kementrian

Pertahanan dan TNI. Ini dianggap oleh pimpinan

TNI sebagai campur tangan sipil dalam urusan militer. Setelah itu pimpinan

TNI menuntut Presiden membubarkan Parlemen. Namun Presiden menolak

tuntutan ini, sehingga KSAD dan KSAP diberhentikan dari jabatannya.

Keberlangsungan Kabinet Wilopo semakin terancam ketika terjadi

peristiwa Tanjung Morawa. Peristiwa ini terkait dengan pembebasan tanah

milik

Deli Planters Vereeniging

(DPV). Tanah ini sebelumnya sudah digarap

penduduk, kemudian diminta untuk dikembalikan kepada DPV. Usaha

pembebasan tanah ini mendapat perlawanan dari penduduk. Karena menghadapi

hambatan, pemerintah kemudian menggunakan alat-alat kekuasaan negara

untuk memindahkan penduduk dari lokasi tersebut. Atas perintah Gubernur

Sumatera Timur, tanah garapan tersebut kemudian ditraktor oleh polisi yang

kemudian mendapatkan perlawanan dari petani yang mengakibatkan insiden

yang menelan korban meninggalnya 5 orang petani. Peristiwa ini memunculkan

mosi di Parlemen yang menuntut kepada pemerintah agar menghentikan sama

sekali usaha pengosongan tanah yang diberikan kepada DPV sesuai dengan

Sumber: Deppen, 1975

Gambar 2.2 Bung Karno

sedang berpidato menyikapi

Peristiwa 17 Oktober 1952

PENGAYAAN

Coba kalian cari

informasi tentang

peristiwa 17 Oktober

1952. Siapa tokoh-

tokohnya dan apa saja

tuntutannya!

57

Sejarah Indonesia

keputusan Pemerintahan Sukiman dan semua tahanan yang terkait dengan

peristiwa Tanjung Morawa segera dibebaskan. Desakan-desakan ini akhirnya

membuat Kabinet Wilopo jatuh.

Jatuhnya Wilopo membuat Presiden Soekarno mengalihkan mandatnya

ke partai lain, setelah Masyumi dan PNI mengalamai kegagalan. Presiden

menetapkan Wongsonegoro dari Partai Indonesia Raya (PIR) dan Kabinet

terbentuk pada 30 Juli 1953 dengan Ali Sastroamidjojo sebagai Perdana Menteri.

Kabinet ini bertujuan melanjutkan tugas Kabinet Wilopo, menyelenggarakan

Pemilihan Umum untuk memilih anggota Parlemen dan Anggota Dewan

Konstituante. Sekalipun kabinet ini berhasil dalam politik luar negeri, yaitu

menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika pada April 1955, namun harus

meletakkan jabatannya sebelum tugas utamanya dapat dilaksanakan. Faktor

utama yang menyebabkan jatuhnya kabinet adalah masalah pimpinan TNI-

AD yang berpangkal pada Peristiwa 17 Oktober 1952. Calon pimpinan TNI

yang diajukan

kabinet

ini ditolak

oleh korps perwira,

kelompok

Zulkifli

Lubis,

sehingga timbul krisis kabinet. Menghadapi persoalan dalam tubuh TNI-

AD, Parlemen mengajukan mosi tidak percaya terhadap menteri pertahanan.

Sebagai dampak dari mosi tersebut, fraksi progresif dalam Parlemen menarik

Mr. Iwa Kusumasumantri dari jabatannya sebagai menteri pertahanan pada 12

Juli 1955. Tidak lama berselang setelah itu, kabinet akhirnya menyerahkan

mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 24 Juli 1955.

Setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo I dinyatakan demisioner, Hatta

selaku pejabat Presiden, Presiden Soekarno sedang menunaikan ibadah haji,

segera mengadakan pertemuan dengan pimpinan partai untuk menentukan

formatur kabinet. Formatur kabinet mempunyai tugas pokok membentuk

kabinet dengan dukungan yang cukup dari parlemen yang terdiri atas orang-

orang yang jujur dan disegani. Tuntutan ini kemudian berhasil dipenuhi

oleh Burhanuddin Harahap selaku formatur yang ditunjuk oleh Hatta. Pada

tanggal 11 Agustus 1955, Kabinet yang dipimpin oleh Burhanuddin Harahap

diumumkan.

Kabinet Burhanuddin Harahap mempunyai tugas penting untuk

menyelenggarakan pemilihan umum. Tugas tersebut berhasil dilaksanakan,

meskipun harus melalui rintangan-rintangan yang berat. Pada tanggal 27

September 1955 pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen berhasil

dilangsungkan dan pemilihan anggota Dewan Konstituante dilakukan pada

15 Desember 1955. Setelah menyelesaikan tugasnya Kabinet Burhanuddin

meletakkan jabatannya. Kemudian dibentuk suatu kabinet baru berdasarkan

kekuatan partai politik yang ada dalam parlemen baru hasil pemilihan umum.

58

Kelas XII SMA/MA

Selain masalah pemilihan umum, kabinet ini juga berhasil menyelesaikan

permasalahan dalam tubuh TNI-AD dengan diangkatnya kembali Kolonel

Nasution sebagai KSAD pada Oktober 1955. Program lainnya yang berusaha

dilaksanakan pada masa kabinet ini adalah masalah politik luar negeri dan

perundingan masalah Irian Barat.

Perkembangan politik pasca Pemilihan Umum 1955 memperlihatkan tanda

renggangnya dwi tunggal Soekarno-Hatta. Pada tanggal 1 Desember 1955,

Hatta mengundurkan diri dari jabatan sebagai wakil presiden. Pengunduran

diri Hatta ini merupakan reaksi politis atas ketidakcocokan Hatta terhadap

pernyataan yang dikeluarkan Presiden Soekarno. Dalam salah satu pidatonya

Presiden Soekarno mengatakan bahwa ia akan sangat gembira apabila para

pemimpin partai berunding sesamanya dan memutuskan bersama untuk

mengubur partai-partai.

Hatta sebagai seorang demokrat masih percaya pada sistem demokrasi

yang bercirikan banyak partai. Perbedaan antara Soekarno dan Hatta tidak

hanya muncul pada tahun 1950-an, namun sejak masa pergerakan nasional

pun kedua tokoh ini telah terjadi perbedaan pemikiran. Masa perjuangan untuk

mencapai kemerdekaan dan perjuangan revolusi membawa kedua tokoh ini

melupakan perbedaan yang ada sehingga disebut dwi tunggal. Namun, setelah

tahun 1950-an tampak perbedaan menyangkut masalah demokrasi telah

memecahkan mitos dwi tunggal. Sistem demokrasi konstitusional sangat

didambakan Hatta sedangkan Soekarno menganggap sistem tersebut tidak

cocok untuk bangsa Indonesia.

Soekarno yakin bahwa gerakan komunisme bisa dikendalikan, sedangkan

Hatta sangat menentang gerakan komunisme dan menganggapnya sebagai

bahaya laten yang harus dilenyapkan.

Pergolakan politik dan keadaan keamanan yang semakin memburuk telah

mendorong Soekarno mengeluarkan Konsepsi Presiden pada tanggal 21

Februari 1957. Sejak saat itu Presiden Soekarno mengambil alih pemerintahan

dan mendorong dilaksanakannya Demokrasi Terpimpin, suatu konsep

demokrasi yang sangat diidamkan oleh Soekarno namun sangat ditentang

oleh Hatta. Sikap Hatta ini diungkapkannya dalam tulisannya “Demokrasi

Kita”. Hatta menuliskan bahwa “bagi saya yang lama bertengkar dengan

Soekarno

tentang

bentuk

dan susunan

pemerintahan

yang efisien ada baiknya

diberikan kesempatan yang sama dalam waktu yang layak apakah sistem itu

akan menjadi suatu sukses atau kegagalan”.

Penunjukkan tim formatur untuk membentuk kabinet setelah Pemilihan

Umum 1955 agar berbeda dengan sebelumnya. Setelah Pemilihan Umum 1955,

Presiden Soekarno menunjuk partai pemenang pemilu sebagai pembentuk

59

Sejarah Indonesia

formatur kabinet. PNI yang ditunjuk Soekarno sebagai formatur kabinet

mengajukan Ali Sastroamidjojo dan Wilopo calon formatur kabinet. Presiden

Soekarno kemudian memilih Ali Sastroamidjojo. Kabinet yang terbentuk

berintikan koalisi PNI, Masyumi dan NU. Dalam pembentukan kabinet

tidak ada kesulitan yang prinsipil. Koalisi yang terbentuk memunculkan

pertanyaan mengapa PKI yang menduduki peringkat keempat pemilu tidak

disertakan. Hal ini karena Masyumi menolak masuknya PKI dalam kabinet.

Pada waktu formatur menyerahkan susunan kabinet kepada Presiden Soekarno

untuk disetujui, Presiden tidak langsung menyetujui. Ia kecewa dengan

susunan kabinet yang akan dibentuk yang tidak melibatkan PKI. Presiden

menghendaki masuknya PKI dalam kabinet. Namun kehendak Presiden tidak

bisa diterima oleh formatur karena susunan kabinet yang dibentuk merupakan

hasil persetujuan dari partai-partai yang akan berkoalisi.

Menyikapi hal tersebut, Presiden Soekarno kemudian berusaha mendesak

para tokoh partai PNI, Masyumi, NU dan PSII agar mau menerima wakil

PKI atau pun simpatisannya untuk duduk dalam kabinet. Namun kehendak

Presiden Soekarno tersebut tidak bisa diterima oleh tokoh-tokoh dari ketiga

partai tersebut. presiden Soekarno pun akhirnya menyetujui susunan kabinet

yang telah disusun oleh tim formatur, dengan memasukkan Ir. Djuanda dalam

kabinet. Pada tanggal 20 Maret 1956, kabinet koalisi nasionalis-Islam dengan

Ali Sastroamidjojo selaku Perdana Menteri. Kabinet ini dikenal sebagai

Kabinet Ali II (1956-1957). Kabinet Ali II merupakan kabinet pertama yang

memiliki Rencana Lima Tahun yang antara lain isinya mencakup masalah Irian

Barat, masalah otonomi daerah, masalah perbaikan nasib buruh, penyehatan

keuangan dan pembentukan ekonomi keuangan.

Dalam menjalankan programnya Kabinet Ali II

muncul berbagai peristiwa-peristiwa baru antara lain

gagal memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian

Barat yang akhirnya membatalkan perjanjian KMB.

Munculnya masalah anti Cina di antara kalangan

rakyat yang kurang senang melihat kedudukan

istimewa golongan ini dalam perdagangan. Selain

itu, mulai meningkatnya sikap kritis daerah

terhadap pusat. Kondisi ini mendorong lemahnya

Kabinet Ali yang dibentuk berdasarkan hasil pemilihan umum pertama.

Peristiwa-peristiwa di atas membuat kewibawaan Kabinet Ali Sastroamidjojo

semakin turun. Kurangnya tindakan tegas dari kabinet terhadap pergolakan

yang muncul membuat Ikatan Pembela Kemerdekaan Indonesia (IPKI)

dan Masyumi menarik para menterinya dari kabinet. Berbagai upaya telah

PENGAYAAN

Coba kamu cari

informasi tentang

pergolakan daerah

yang muncul pada

masa Kabinet Ali II!

60

Kelas XII SMA/MA

dilakukan untuk menyelamatkan kabinet oleh Ali Sastro dan Idham Khalid,

namun tidak berhasil. Ali akhirnya menyerahkan mandatnya kepada Presiden

Soekarno pada tanggal 14 Maret 1957.

Demisionernya Kabinet Ali II dan munculnya gerakan-gerakan separatis

di daerah-daerah membuat Presiden Soekarno mengumumkan berlakunya

undang-undang negara dalam keadaan darurat perang atau

State van Oorlog

en Beleg

(SOB) di seluruh Indonesia. Keadaan ini membuat angkatan perang

mempunyai wewenang khusus untuk mengamankan negara.

Menyikapi situasi jatuh bangunnya kabinet, Soekarno melalui amanat

proklamasi 17 Agustus 1957 menyatakan bahwa:

“Sistem politik yang terbaik dan tercocok dengan kepribadian dan dasar hidup

bangsa Indonesia! Ya, nyata demokrasi yang sampai sekarang ini kita praktikan

di Indonesia, bukan satu sistem politik terbaik dan tercocok dengan kepribadian

dan dasar hidup bangsa Indonesia! Nyata kita dengan apa yang kita namakan

dengan demokrasi itu, tidak menjadi makin kuat dan makin sentosa, melainkan

menjadi makin rusak dan makin retak, makin

bubrah dan makin bejat. (Presiden

Soekarno, Amanat Proklamasi III, 1956-1960, Inti Idayu Press dan Yayasan

Pendidikan Soekarno, 1986).

Coba kamu cari informasi, pemikiran

apa

yang disampaikan Presiden Soekarno

melalui Konsepsi Presidennya!

Untuk mewujudkan keinginan tersebut, pada tanggal 21 Februari 1957

Presiden Soekarno mengundang ke Istana Negara para tokoh partai dari

tingkat daerah hingga pusat, dan tokoh militer untuk mendengarkan pidatonya

yang dikenal dengan Konsepsi Presiden. Konsepsi tersebut bertujuan untuk

mengatasi dan menyelesaikan krisis kewibawaan kabinet yang sering dihadapi

dengan dibentuknya kabinet yang anggotanya terdiri atas 4 partai pemenang

pemilu dan dibentuknya Dewan Nasional yang anggotanya dari golongan

fungsional dalam masyarakat. Sayangnya gagasan ini dikeluarkan tanpa

terlebih dahulu ada pemberitahuan kepada kabinet yang tengah mengalami

masalah yang cukup berat.

Presiden Soekarno menyatakan bahwa Demokrasi Liberal yang dijalankan

di Indonesia tidak sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia, dan merupakan

demokrasi impor. Ia ingin menggantinya dengan demokrasi yang sesuai

dengan kepribadian bangsa Indonesia, yang disebutnya dengan Demokrasi

Terpimpin. Konsepsi presiden ini menuai perdebatan yang cukup sengit baik

di parlemen maupun di luar parlemen.

61

Sejarah Indonesia

Usaha Presiden Soekarno untuk mempengaruhi partai-partai agar mau

membentuk kabinet berkaki empat akhirnya gagal. Kaum politisi dan partai-

partai tetap mau melakukan politik “dagang sapi”, yaitu tawar menawar

kedudukan untuk membentuk kabinet koalisi. Akhirnya, Presiden menunjuk

dirinya sendiri sebagai formatur untuk membentuk kabinet ekstraparlementer

yang akan bertindak tegas dan yang akan membantu Dewan Nasional sesuai

Konsepsi Presiden. Soekarno berhasil membentuk Kabinet Karya dengan Ir.

Djuanda, tokoh yang tidak berpartai, sebagai Perdana Menteri dengan tiga

wakil perdana menteri masing-masing dari PNI, NU, dan Parkindo. Kabinet

ini resmi dilantik pada 9 April 1957 dan dikenal dengan nama Kabinet Karya.

Kabinet ini tidak menyertakan Masyumi di dalamnya.

Kabinet Djuanda merupakan

Zaken

Kabinet dengan beban tugas yang

harus dijalankan adalah perjuangan membebaskan Irian Barat dan menghadapi

keadaan ekonomi dan keuangan yang memburuk. Kabinet Djuanda untuk

menyelesaikan tugasnya menyusun program kerja yang terdiri dari lima pasal

yang dikenal dengan Panca Karya, sehingga kabinetnya pun dikenal sebagai

Kabinet Karya. Kelima program tersebut meliputi:

a.

Membentuk Dewan Nasional

b.

Normalisasi keadaan Republik Indonesia

c.

Melanjutkan pembatalan KMB

d.

Memperjuangkan Irian Barat kembali ke RI

e.

Mempercepat pembangunan

Dewan Nasional merupakan amanat dari Konsepsi Presiden 1957. Dewan

ini mempunyai fungsi menampung dan menyalurkan keinginan-keinginan

kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat dan juga sebagai penasihat

pemeritah untuk melancarkan roda pemerintahan dan menjaga stabilitas politik

untuk mendukung pembangunan negara. Dewan ini dipimpin langsung oleh

Presiden Soekarno yang anggota-anggotanya terdiri dari golongan fungsional.

Untuk menormalisasi keadaan yang diakibatkan oleh pergolakan daerah,

Kabinet Djuanda pada 10-14 September 1957 melangsungkan Musyawarah

Nasional (Munas) yang dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional dan daerah, di

antaranya adalah mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Musyawarah

ini dilaksanakan di gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56.

Musyawarah ini membahas permasalahan-permasalahan pemerintahan,

persoalan daerah, ekonomi, keuangan, angkatan perang, kepartaian serta

masalah dwitunggal Soekarno Hatta. Musyawarah ini kemudian menghasilkan

62

Kelas XII SMA/MA

keputusan yang mencerminkan suasana saling

pengertian. Pada akhir acara Munas dibacakan

pernyataan bersama yang ditandatangani oleh

Soekarno Hatta yang bunyinya antara lain bahwa:

“... adalah kewajiban mutlak kami untuk turut

serta

dengan seluruh rakyat Indonesia, pemerintah RI

serta segenap alat-alat kekuasaan negara, membina

dan membela dasar-dasar proklamasi kemerdekaan

17 Agustus 1945 dalam kedudukan apa pun juga

adanya”. (Sketsa Perjalanan Bangsa Berdemokrasi,

Dep.Kominfo, 2005)

Untuk menindaklanjuti hasil Munas, dan dalam upaya untuk mempergiat

pembangunan dilaksanakan Musyawarah Nasional Pembangunan.

Musyawarah ini bertujuan khusus untuk membahas dan merumuskan usaha-

usaha pembangunan sesuai dengan keinginan daerah. Oleh karena itu, kegiatan

ini dihadiri juga oleh tokoh-tokoh pusat dan daerah serta semua pemimpin

militer dari seluruh teritorium, kecuali Letkol. Achmad Husein dari Komando

Militer Sumatera Tengah.

Perlu kalian ketahui bahwa pada masa Demokrasi Parlementer ini luas

wilayah Indonesia tidak seluas wilayah Indonesia saat ini. Karena Indonesia

masih menggunakan peraturan kolonial terkait dengan batas wilayah,

Zeenen

Maritieme Kringen Ordonantie

, 1939 yang dalam pasal 1 menyatakan bahwa:

“laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah

(laagwaterlijn) dari pada pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan

bagian dari wilayah daratan (grondgebeid) dari Indonesia.”

Berdasarkan pasal tersebut, Indonesia jelas merasa dirugikan, lebar laut 3

mil dirasakan tidak tidak cukup menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan

rakyat dan negara. Batas 3 mil dari daratan menyebabkan adanya laut-laut

bebas yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia. Hal ini menyebabkan

kapal-kapal asing bebas mengarungi lautan tersebut tanpa hambatan. Kondisi

ini akan menyulitkan Indonesia dalam melakukan pengawasan wilayah

Indonesia.

Sebagai suatu negara yang berdaulat Indonesia berhak dan berkewajiban

untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk melindungi

keutuhan dan keselamatan Republik Indonesia. Melihat kondisi inilah

kemudian pemerintahan Kabinet Djuanda mendeklarasikan hukum teritorial

kelautan Nusantara yang berbunyi:

PENGAYAAN

Coba kalian cari

apa yang dimaksud

golongan

fungsional melalui

buku-buku atau

pun browsing

melalui internet!

63

Sejarah Indonesia

Segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau

atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia,

dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang

wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan

demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah

kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu lintas yang

damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan

sekedar tidak bertentangan dengan/ menganggu kedaulatan dan keselamatan

negara Indonesia. (Sumber: Hasjim Djalal, 2006)

Dari deklarasi tersebut dapat kita lihat bahwa faktor keamanan dan

pertahanan merupakan aspek penting, bahkan dapat dikatakan merupakan

salah satu sendi pokok kebijaksanaan pemerintah mengenai perairan Indonesia.

Dikeluarkannya deklarasi ini membawa manfaat bagi Indonesia yaitu mampu

menyatukan wilayah-wilayah Indonesia dan sumber daya alam dari laut bisa

dimanfaatkan dengan maksimal. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai

Deklarasi Djuanda.

Sumber: Atlas Nasional Indonesia (Bakosurtanal, 2011)

Gambar 2.3 Wilayah Indonesia berdasarkan Deklarasi Juanda

Deklarasi Djuanda mengandung konsep bahwa tanah air yang tidak lagi

memandang laut sebagai alat pemisah dan pemecah bangsa, seperti pada

masa kolonial, namun harus dipergunakan sebagai alat pemersatu bangsa dan

wahana pembangunan nasional. Deklarasi Djuanda membuat batas kontinen

laut kita diubah dari 3 mil batas air terendah menjadi 12 mil dari batas pulau

terluar. Kondisi ini membuat wilayah Indonesia semakin menjadi luas dari

sebelumnya hanya 2.027.087 km2 menjadi 5.193.250 km2 tanpa memasukkan

wilayah Irian Barat, karena wilayah itu belum diakui secara internasional.

Hal ini berdampak pula terhadap titik-titik pulau terluar yang menjadi garis

64

Kelas XII SMA/MA

batas yang mengelilingi RI menjadi sepanjang 8.069,8 mil laut. Meskipun

Deklarasi Djuanda belum memperoleh pengakuan internasional, pemerintah

RI kemudian menetapkan deklarasi tersebut menjadi UU No. 4/PRP/1960

tentang Perairan Indonesia.

Dikeluarkannya Deklarasi Djuanda membuat banyak negara yang

keberatan terhadap konsepsi landasan hukum laut Indonesia yang baru. Untuk

merundingkan penyelesaian masalah hukum laut ini, pemerintah Indonesia

melakukan harmonisasi hubungan diplomatik dengan negara-negara tetangga.

Selain itu Indonesia juga melalui Konferensi Jenewa pada tahun 1958, berusaha

mempertahankan konsepsinya yang tertuang dalam Deklarasi Djuanda dan

memantapkan Indonesia sebagai

Archipelagic State Principle

atau negara

kepulauan.

Deklarasi Djuanda ini baru bisa diterima di dunia internasional setelah

ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB yang ke-3 di Montego Bay

(Jamaika) pada tahun 1982 (

United Nations Convention On The

Law of The

Sea

/ UNCLOS

1982).

Pemerintah

Indonesia

kemudian

meratifikasinya

dalam

UU No.17/ 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah

negara kepulauan. Setelah diperjuangkan selama lebih dari dua puluh lima

tahun, akhirnya

pada 16 November

1994, setelah

diratifikasi

oleh 60 negara,

hukum laut Indonesia diakui oleh dunia internasional. Upaya ini tidak lepas

dari perjuangan pahlawan diplomasi kita, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja

dan Prof. Dr. Hasjim Djalal, yang setia mengikuti berbagai konferensi tentang

hukum laut yang dilaksanakan PBB dari tahun 1970-an hingga tahun 1990-an.

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, tanggal 13

Desember dicanangkan sebagai Hari Nusantara dan ketika masa Presiden

Megawati dikeluarkan Keputusan Presiden No. 126/2001 tentang Hari

Nusantara dan tanggal 13 resmi menjadi hari perayaan nasional.

TUGAS

Buatlah

mind

mapping

mengenai

sistem pemerintahan pada masa Demokrasi

Parlementer!

65

Sejarah Indonesia

2. Sistem Kepartaian

Partai politik merupakan suatu kelompok terorganisir yang anggota-

anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.

Tujuan dibentuknya partai politik adalah untuk memperoleh, merebut dan

mempertahankan kekuasaan secara konstitusional. Jadi munculnya partai

politik erat kaitannya dengan kekuasaan.

Pasca-proklamasi kemerdekaan, pemerintahan RI memerlukan adanya

lembaga parlemen yang berfungsi sebagai perwakilan rakyat sesuai dengan

amanat UUD 1945. Keberadaan parlemen, dalam hal ini DPR dan MPR,

tidak terlepas dari kebutuhan adanya perangkat organisasi politik, yaitu

partai politik. Berkaitan dengan hal tersebut, pada 23 Agustus 1945 Presiden

Soekarno mengumumkan pembentukan Partai Nasional Indonesia sebagai

partai tunggal, namun keinginan Presiden Soekarno tidak dapat diwujudkan.

Gagasan pembentukan partai baru muncul lagi ketika pemerintah mengeluarkan

maklumat pemerintah pada tanggal 3 November 1945. Melalui maklumat

inilah gagasan pembentukan partai-partai politik dimunculkan kembali dan

berhasil membentuk partai-partai politik baru. Di antara partai-partai tersebut

tergambar dalam bagan berikut ini:

Nama Partai

Pimpinan

Tanggal Berdiri

Majelis Syuro Muslimin

Indonesia (Masyumi)

Dr. Sukirman

Wiryosanjoyo

7 November 1945

Partai Nasional Indonesia (PNI)

Sidik Joyosukarto

29 Januari 1945

Partai Sosialis Indonesia (PSI)

Amir Syarifuddin

20 November 1945

Partai Komunis Indonesia (PKI)

Mr. Moh. Yusuf

7 November 1945

Partai Buruh Indonesia (PBI)

Nyono

8 November 1945

Partai Rakyat Jelata (PRJ)

Sutan Dewanis

8 November 1945

Partai Kristen Indonesia

(Parkindo)

Ds. Probowinoto

10 November 1945

Partai Rakyat Sosialis (PRS)

Sutan Syahrir

20 November 1945

Persatuan Marhaen Indonesia

(Permai)

J.B. Assa

17 Desember 1945

Partai Katholik Republik

Indonesia (PKRI)

I.J. Kassimo

8 Desember 1945

Sumber: (Wilopo, 1978 dan dari sumber lainnya)

66

Kelas XII SMA/MA

Sistem kepartaian yang dianut pada masa Demokrasi Liberal adalah

multi partai. Pembentukan partai politik ini menurut Mohammad Hatta

agar memudahkan dalam mengontrol perjuangan lebih lanjut. Hatta juga

menyebutkan bahwa pembentukan partai politik ini bertujuan untuk mudah

dapat mengukur kekuatan perjuangan kita dan untuk mempermudah

meminta tanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin barisan perjuangan.

Walaupun pada kenyataannya partai-partai politik tersebut cenderung untuk

memperjuangkan kepentingan golongan daripada kepentingan nasional.

Partai-partai politik yang ada saling bersaing, saling mencari kesalahan dan

saling menjatuhkan. Partai-partai politik yang tidak memegang jabatan

dalam kabinet dan tidak memegang peranan penting dalam parlemen sering

melakukan oposisi yang kurang sehat dan berusaha menjatuhkan partai

politik yang memerintah. Hal inilah yang menyebabkan pada era ini sering

terjadi pergantian kabinet, kabinet tidak berumur panjang sehingga program-

programnya tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya yang menyebabkan

terjadinya instabilitas nasional baik di bidang politik, sosial ekonomi maupun

keamanan.

Kondisi inilah yang mendorong Presiden Soekarno mencari solusi untuk

membangun kehidupan politik Indonesia yang akhirnya membawa Indonesia

dari sistem Demokrasi Liberal menuju Demokrasi Terpimpin.

TUGAS

Buat rangkuman

tentang

salah

satu partai

pada

masa

Demokrasi

Liberal

1950-1959

sebanyak

satu

halaman. Setelah dinilai oleh guru kalian,

jilid

atau tempel rangkuman tersebut di mading kelas!

3. Pemilihan Umum 1955

Pelaksanaan pemilihan umum 1955 bertujuan untuk memilih wakil-wakil

rakyat yang akan duduk dalam Parlemen dan Dewan Konstituante. Pemilihan

umum ini diikuti oleh partai-partai politik yang ada serta oleh kelompok

perorangan. Pemilihan umum ini sebenarnya sudah dirancang sejak Kabinet

Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953-12 Agustus 1955) dengan membentuk

Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah pada 31 Mei 1954. Namun

pemilihan umum tidak dilaksanakan pada masa Kabinet Ali I karena terlanjur

jatuh. Kabinet pengganti Ali I yang berhasil menjalankan pemilihan umum,

yaitu Kabinet Burhanuddin Harahap.

Pelaksanaan Pemilihan Umum pertama dibagi dalam 16 daerah pemilihan

yang meliputi 208 kabupaten, 2139 kecamatan, dan 43.429 desa. Pemilihan

67

Sejarah Indonesia

umum 1955 dilaksanakan dalam 2 tahap. Tahap pertama untuk memilih

anggota parlemen yang dilaksanakan pada 29 September 1955 dan tahap

kedua untuk memilih anggota Dewan Konstituante (badan pembuat Undang-

Undang Dasar) dilaksanakan pada 15 Desember 1955. Pada pemilu pertama

ini 39 juta rakyat Indonesia memberikan suaranya di kotak-kotak suara.

Pemilihan Umum 1955 merupakan tonggak demokrasi pertama di

Indonesia. Keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum ini menandakan

telah berjalannya demokrasi di kalangan rakyat. Rakyat telah menggunakan

hak pilihnya untuk memilih wakil-wakil mereka. Banyak kalangan yang

menilai bahwa Pemilihan Umum 1955 merupakan pemilu yang paling

demokratis yang dilaksanakan di Indonesia.

Presiden Soekarno dalam pidatonya di Istana Negara dan Parlemen pada

17 Agustus 1955 menegaskan bahwa “pemilihan umum jangan diundurkan

barang sehari pun, karena pada pemilihan umum itulah rakyat akan

menentukan hidup kepartaian kita yang tidak sewajarnya lagi, rakyatlah yang

menjadi hakim”. Penegasan ini dikeluarkan karena terdapat suara-suara yang

meragukan terlaksananya pemilu sesuai dengan jadwal semula.

Dalam proses Pemilihan Umum 1955 terdapat 100 partai besar dan kecil

yang mengajukan calon-calonnya untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat

dan 82 partai besar dan kecil untuk Dewan Konstituante. Selain itu masih

ada 86 organisasi dan perseorangan akan ikut dalam pemilihan umum. Dalam

pendaftaran pemilihan tidak kurang dari 60% penduduk Indonesia yang

mendaftarkan namanya (kurang lebih 78 juta), angka yang cukup tinggi yang

ikut dalam pesta demokrasi yang pertama. (Feith, 1999)

Pemilihan umum untuk anggota DPR dilaksanakan pada tanggal 29

September 1955. Hasilnya diumumkan pada 1 Maret 1956. Urutan perolehan

suara terbanyak adalah PNI, Masyumi, Nahdatul Ulama dan PKI. Empat

perolehan suara terbanyak memperoleh kursi sebagai berikut:

PNI

57 kursi

Masyumi

57 kursi

Nahdatul Ulama

45 kursi

PKI

39 kursi

Pemilihan Umum 1955 menghasilkan susunan anggota DPR dengan

jumlah anggota sebanyak 250 orang dan dilantik pada tanggal 24 Maret 1956

oleh Presiden Soekarno. Acara pelantikan ini dihadiri oleh anggota DPR yang

68

Kelas XII SMA/MA

lama dan menteri-menteri Kabinet Burhanudin Harahap. Dengan terbentuknya

DPR yang baru maka berakhirlah masa tugas DPR yang lama dan penunjukan

tim formatur dilakukan berdasarkan jumlah suara terbanyak di DPR.

Pemilihan Umum 1955 selain memilih anggota DPR juga memilih

anggota Dewan Konstituate. Pemilihan Umum anggota Dewan Konstituante

dilaksanakan pada 15 Desember 1955. Dewan Konstituante bertugas untuk

membuat Undang-undang Dasar yang tetap, untuk menggantikan UUD

Sementara 1950. Hal ini sesuai dengan ketetapan yang tercantum dalam

pasal 134 UUD Sementara 1950 yang berbunyi, “Konstituante (Sidang

Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama pemerintah selekas-

lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan

menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini”.

Berdasarkan hasil pemilihan tanggal 15 Desember 1955 dan diumumkan

pada 16 Juli 1956, perolehan suara partai-partai yang mengikuti pemilihan

anggota Dewan Konstituante urutannya tidak jauh berbeda dengan pemilihan

anggota legislatif, empat besar partainya adalah PNI, Masyumi, NU dan PKI.

PNI

119 kursi

Masyumi

112 kursi

Nahdatul Ulama

91 kursi

PKI

80 kursi

Keanggotaaan Dewan Konstituante terdiri atas anggota hasil pemilihan

umum dan yang diangkat oleh pemerintah. Pemeritah mengangkat anggota

Konstituante jika ada golongan penduduk minoritas yang turut dalam

pemilihan umum tidak memperoleh jumlah kursi sejumlah yang ditetapkan

dalam UUDS 1950. Kelompok minoritas yang ditetapkan jumlah kursi

minimal adalah golongan Cina dengan 18 kursi, golongan Eropa dengan 12

kursi dan golongan Arab 6 kursi.

Dalam sidang-sidang Dewan Konstituante yang berlangsung sejak

tahun 1956 hingga Dekret Presiden 5 Juli 1959 tidak menghasilkan apa yang

diamanatkan oleh UUDS 1950. Dewan memang berhasil menyelesaikan

bagian-bagian dari rancangan UUD, namun terkait dengan masalah dasar

negara, Dewan Konstituante tidak berhasil menyelesaikan perbedaan yang

mendasar di antara usulan dasar negara yang ada.

Pembahasan mengenai dasar negara mengalami banyak kesulitan karena

adanya

konflik

ideologis

antarpartai.

Dalam

sidang

Dewan

Konstituante

muncul tiga usulan dasar negara yang diusung oleh partai-partai; pertama,

69

Sejarah Indonesia

dasar negara Pancasila diusung antara lain oleh PNI, PKRI, Permai, Parkindo,

dan Baperki; kedua, dasar negara Islam diusung antara lain oleh Masyumi,

NU dan PSII; ketiga, dasar negara sosial ekonomi yang diusung oleh

Partai Murba dan Partai Buruh. Ketiga usulan dasar negara ini kemudian

mengerucut menjadi dua usulan Pancasila dan Islam karena Sosial ekonomi

tidak memperoleh dukungan suara yang mencukupi, hanya sembilan suara.

Dalam upaya untuk menyelesaikan perbedaan pendapat terkait dengan

masalah dasar negara, kelompok Islam mengusulkan kepada pendukung

Pancasila tentang kemungkinan dimasukannya nilai-nilai Islam ke dalam

Pancasila, yaitu dimasukkannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai

pembukaan undang-undang dasar yang baru. Namun usulan ini ditolak oleh

pendukung Pancasila. Semua upaya untuk mencapai kesepakatan di antara dua

kelompok menjadi kandas dan hubungan kedua kelompok ini semakin tegang.

Kondisi ini membuat Dewan Konstituante tidak berhasil menyelesaikan

pekerjaannya hingga pertengahan 1958. Kondisi ini mendorong Presiden

Soekarno dalam amanatnya di depan sidang Dewan Konstituante mengusulkan

untuk kembali ke UUD 1945. Konstituante harus menerima UUD 1945 apa

adanya, baik pembukaan maupun batang tubuhnya tanpa perubahan.

Menyikapi usulan Presiden, Dewan Konstituante mengadakan

musyawarah dalam bentuk pemandangan umum. Dalam sidang-sidang

pemandangan umum ini Dewan Konstituante pun tidak berhasil mencapai

kuorum, yaitu dua pertiga suara dari jumlah anggota yang hadir. Tiga kali

diadakan pemungutan suara tiga kali tidak mencapai kourum, sehingga

ketua sidang menetapkan tidak akan mengadakan pemungutan suara lagi dan

disusul dengan masa reses (masa tidak

bersidang). Ketika memasuki masa

sidang berikutnya beberapa fraksi tidak

akan menghadiri sidang lagi. Kondisi

inilah mendorong suasana politik

dan psikologis masyarakat menjadi

sangat genting dan peka. Kondisi ini

mendorong KSAD, Jenderal Nasution,

selaku Penguasa Perang Pusat (Peperpu)

dengan persetujuan dari Menteri

Pertahanan sekaligus Perdana Menteri

Ir. Djuanda, melarang sementara semua

kegiatan politik dan menunda semua

sidang Dewan Konstituante.

Sumber: 30 Tahun Indonesia Merdeka (Depen., 1975)

Gambar 2.4 Pemungutan Suara dalam

Sidang Dewan Konstituante

70

Kelas XII SMA/MA

Presiden Soekarno mencoba mencari jalan keluar untuk menyelesaikan

permasalahan yang ada dengan mengadakan pembicaraan dengan tokoh-tokoh

pemerintahan, anggota Dewan Nasional, Mahkamah Agung dan pimpinan

Angkatan Perang di Istana Bogor pada 4 Juli 1959. Hasil dari pembicaraan

itu esok harinya, Minggu 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menetapkan Dekret

Presiden 1959 di Istana Merdeka. Isi pokok dari Dekret Presiden tersebut

adalah membubarkan Dewan Konstituante, menyatakan berlakunya kembali

UUD 1945 dan menyatakan tidak berlakunya UUD Sementara 1950. Dekret

juga menyebutkan akan dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)

dalam waktu sesingkat-singkatnya.

TUGAS

Buatlah essay mengenai

perbandingan antara pemilu tahun 1955 dengan

pemilu yang dilaksanakan sekarang!

B. Mencari Sistem Ekonomi Nasional

1.

Pemikiran Ekonomi Nasional

Pemikiran ekonomi pada 1950-an pada umumnya merupakan upaya

mengubah struktur perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional.

Hambatan yang dihadapi dalam mewujudkan hal tersebut adalah sudah

berakarnya sistem perekonomian kolonial yang cukup lama. Warisan ekonomi

kolonial membawa dampak perekonomian Indonesia banyak didominasi oleh

perusahaan asing dan ditopang oleh kelompok etnis Cina sebagai penggerak

perekonomian Indonesia. Kondisi inilah yang ingin diubah oleh para pemikir

ekonomi nasional di setiap kabinet di era Demokrasi Parlementer. Upaya

membangkitkan perekonomian sudah dimulai sejak kabinet pertama di era

Demokrasi Parlementer, Kabinet Natsir.

Perhatian terhadap perkembangan dan pembangunan ekonomi dicurahkan

oleh Soemitro Djojohadikusumo. Ia berpendapat bahwa pembangunan ekonomi

Indonesia pada hakekatnya adalah pembangunan ekonomi baru. Soemitro

mencoba mempraktikkan pemikirannya tersebut pada sektor perdagangan. Ia

berpendapat bahwa pembangunan ekonomi nasional membutuhkan dukungan

dari kelas ekonomi menengah pribumi yang kuat. Oleh karena itu, bangsa

Indonesia harus sesegera mungkin menumbuhkan kelas pengusaha pribumi,

karena pengusaha pribumi pada umumnya bermodal lemah. Oleh karena itu,

pemerintah hendaknya membantu dan membimbing para pengusaha tersebut

71

Sejarah Indonesia

dengan bimbingan konkret dan bantuan pemberian kredit. Jika usaha ini

berhasil maka secara bertahap pengusaha pribumi akan dapat berkembang

maju dan tujuan mengubah struktur ekonomi kolonial di bidang perdagangan

akan berhasil.

Gagasan Soemitro kemudian dituangkan dalam program Kabinet Natsir

dalam wujud pencanangan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) yang

sering disebut juga dengan Plan Soemitro. Wujud dari RUP tersebut kemudian

dicanangkan Program Benteng. Program ini antara lain mencadangkan

impor barang-barang tertentu bagi kelompok bisnis pribumi, serta membuka

kesempatan bagi para pedagang pribumi membangun basis modal di bawah

perlindungan pemerintah. Selain tujuan tersebut, juga untuk menumbuhkan

kaum pengusaha pribumi agar mampu bersaing dalam usaha dengan para

pengusaha keturunan Cina dan asing lainnya. Upaya yang dilakukan

pemerintah adalah memberi peluang usaha sebesar-besarnya bagi pengusaha

pribumi dengan bantuan kredit. Dengan upaya tersebut diharapkan akan

tercipta kelas pengusaha pribumi yang mampu meningkatkan produktivitas

barang dan modal domestik.

Sayangnya dalam pelaksanaan muncul masalah karena dalam pelaksanaan

Program Benteng, pemberian lisensi impor banyak yang disalahgunakan.

Mereka yang menerima lisensi bukanlah orang-orang yang memiliki potensi

kewiraswastaan yang tinggi, namun orang-orang yang mempunyai hubungan

khusus dengan kalangan birokrat yang berwenang mendistribusikan lisensi

dan kredit. Kondisi ini terjadi karena adanya pertimbangan-pertimbangan

politik. Akibatnya, pengusaha-pengusaha yang masuk dalam Program

Benteng lamban menjadi dewasa, bahkan ada yang menyalahgunakan maksud

pemerintah tersebut untuk mencari keuntungan yang cepat dengan menjual

lisensi impor yang dimilikinya kepada pengusaha impor yang sesungguhnya,

yang kebanyakan berasal dari keturunan Cina. Penyelewengan lain dalam

pelaksanaan Politik Benteng adalah dengan cara mendaftarkan perusahaan

yang sesungguhnya merupakan milik keturunan Cina dengan menggunakan

nama orang Indonesia pribumi. Orang Indonesia hanya digunakan untuk

memperoleh lisensi, pada kenyataannya yang menjalankan lisensi tersebut

adalah perusahaan keturunan Cina. Perusahaan yang lahir dari kerjasama

tersebut dikenal sebagai perusahaan “Ali-Baba". Ali mewakili Pribumi dan

Baba mewakili warga keturuan Cina.

Usaha lain yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pengusaha

pribumi dilakukan melalui “Gerakan Asaat”. Gerakan Asaat memberikan

perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia Asli dalam segala aktivitas

usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing pada

72

Kelas XII SMA/MA

umumnya dan warga keturuan Cina pada khususnya. Dukungan dari pemerintah

terhadap gerakan ini terlihat dari pernyataan yang dikeluarkan pemerintah

pada Oktober 1956 bahwa pemerintah akan memberikan lisensi khusus pada

pengusaha pribumi. Ternyata kebijakan pemerintah ini memunculkan reaksi

negatif yaitu muncul golongan yang membenci kalangan Cina. Bahkan reaksi

ini sampai menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko

dan harta benda milik masyarakat Cina serta munculnya perkelahian antara

masyarakat Cina dan masyarakat pribumi.

Pemerintah, selain melakukan upaya perbaikan jangka panjang, juga

melakukan upaya perbaikan jangka pendek untuk menguatkan perekonomian

Indonesia. Salah satunya adalah mengurangi jumlah uang yang beredar dan

mengatasi

defisit anggaran.

Untuk itu pada tanggal

20 Maret 1950, Menteri

Keuangan, Syafrudin Prawiranegara, mengambil kebijakan memotong uang

dengan memberlakukan nilai setengahnya untuk mata uang yang mempunyai

nominal Rp2,50 ke atas. Kebijakan ini dikenal dengan istilah Gunting

Syafrudin.

Sumber: 30 Tahun Indonesia Merdeka, Deppen, 1975

Gambar 2.5 Contoh mata uang yang digunting

Upaya pembangunan ekonomi nasional juga diwujudkan melalui

Program Pembangunan Rencana Lima Tahun, 1956-1960, yang disiapkan

oleh Biro Perancang Nasional (BPN) yang dipimpin oleh Djuanda. Program

ini pertama kali dijalankan pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II. Program

Pembangunan Rencana Lima Tahun berbeda dengan RUP yang lebih umum

sifatnya. Program Rencana Lima Tahun lebih bersifat teknis dan terinci serta

mencakup prioritas-prioritas proyek yang paling rendah. Tujuan dari Rencana

Lima Tahun adalah mendorong munculnya industri besar, munculnya

perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan jasa pada

sektor publik yang hasilnya diharapkan mampu mendorong penanaman modal

dalam sektor swasta.

73

Sejarah Indonesia

Usaha pembangunan ekonomi nasional lainnya dijalankan dengan kebijakan

nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Nasionalisasi ini berupa tindakan

pencabutan hak milik Belanda atau asing yang kemudian diambil alih

atau ditetapkan statusnya sebagai milik pemerintah Republik Indonesia.

Pengalihan hak milik modal asing dilakukan karena Belanda dianggap

ingkar janji dengan tidak menyerahkan Irian Barat kembali ke pangkuan

RI sesuai dengan kesepakatan dalam KMB. Sejak tahun 1957 nasionalisasi

yang dilakukan pemerintah terbagi dalam dua tahap; pertama, tahap

pengambilalihan, penyitaan, dan penguasaan atau sering disebut “di bawah

pengawasan”. kedua, pemerintah mulai mengambil kebijakan yang pasti, yakni

perusahaan-perusahaan yang diambil alih itu kemudian dinasionalisasikan.

Tahap ini dimulai pada Desember 1958 dengan dikeluarkannya UU tentang

nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia. Contoh

beberapa perusahaan yang dinasionalisasi misalnya NV. KPM (

Koninklijk

Paketvaart Maatschappij

) menjadi PT Pelni, KNILM (

Koninklijk Nederlands

Indische Luchvaart Maatschappij

) yang kemudian dibentuk Garuda Indonesia

Airways, dan perusahaan minyak

Borneo Petroleum Maatschappij.

TUGAS

Buatlah karikatur yang menggambarkan tentang Program Gunting

Syarifuddin, Gerakan Benteng, Program Ali Baba, Gerakan Asaat (pilih

salah satu). Ikuti petunjuk guru kalian!

2.

Sistem Ekonomi Liberal

Sesudah pengakuan kedaulatan, pemerintah Indonesia menanggung

beban ekonomi dan keuangan yang cukup berat dampak dari disepakatinya

ketentuan-ketentuan KMB, yaitu meningkatnya nilai utang Indonesia, baik

utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Struktur perekonomian yang

diwarisi dari penguasa kolonial masih berat sebelah, nilai ekspor Indonesia

pada saat itu masih sangat tergantung pada beberapa jenis hasil perkebunan

yang nilainya jauh di bawah produksi pada era sebelum Perang Dunia II.

Permasalahan yang dihadapi pemerintah Indonesia pada saat itu mencakup

permasalahan jangka pendek dan permasalahan jangka panjang. Permasalahan

jangka pendek yang dihadapi pemerintah Indonesia saat itu adalah tingginya

jumlah mata uang yang beredar dan meningkatnya biaya hidup. Permasalahan

jangka panjang yang dihadapi pemerintah adalah pertambahan jumlah penduduk

dengan tingkat hidup yang rendah. Beban berat ini merupakan konsekuensi dari

74

Kelas XII SMA/MA

pengakuan

kedaulatan.

Pada era ini, pemerintah

mengalami

defisit sebesar

Rp 5,1

miliar. Defisit ini sebagian

besar berhasil

dikurangi

dengan

pinjaman

pemerintah

dan kebijakan ekspor impor barang, terutama ketika pecah Perang Korea.

Namun sejak tahun 1951, penerimaan pemerintah mulai berkurang

disebabkan menurunnya volume perdagangan internasional. Indonesia

sebagai negara yang berkembang tidak memiliki komoditas ekspor lain

kecuali dari hasil perkebunan. Kondisi ini membawa dampak perkembangan

perekonomian Indonesia yang tidak mengarah pada stabilitas ekonomi,

bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Di sisi lain pengeluaran pemerintah

semakin

meningkat

akibat tidak stabilnya

situasi politik sehingga

angka defisit

semakin meningkat. Di samping itu, pemerintah belum berhasil meningkatkan

produksi dengan memanfaatkan sumber-sumber yang masih ada untuk

meningkatkan pendapatan nasional. Kelemahan pemerintah lainnya adalah

politik keuangannya tidak dirancang oleh pemerintah Indonesia sendiri,

namun dirancang oleh pemeritah Belanda. Hal ini terjadi akibat dari politik

kolonial Belanda yang tidak mewariskan ahli-ahli yang cukup sehingga usaha

mengubah sistem ekonomi dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional tidak

mampu menghasilkan perubahan yang drastis.

Kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk menanggulangi permasalahan

tersebut di antaranya adalah melaksanakan industrialisasi, yang dikenal

dengan Rencana Soemitro. Sasaran yang ditekankan dari program ini

adalah pembangunan industri dasar, seperti pendirian pabrik-pabrik semen,

pemintalan, karung dan percetakan. Kebijakan ini diikuti dengan peningkatan

produksi, pangan, perbaikan sarana dan prasarana, dan penanaman modal

asing.

Pada masa pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap, Indonesia

mengirim delegasi ke Belanda dengan misi merundingkan masalah Finansial

Ekonomi (Finek). Perundingan ini dilakukan pada tangal 7 Januari 1956.

Rancangan persetujuan Finek yang diajukan Indonesia terhadap pemerintah

Belanda adalah sebagai berikut:

a.

Pembatalan Persetujuan Finek hasil KMB

b.

Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral

c. Hubungan Finek didasarkan atas undang-undang Nasional, tidak boleh

diikat oleh perjanjian lain.

Namun, usul Indonesia ini tidak diterima oleh pemerintah Belanda,

sehingga pemerintah Indonesia secara sepihak melaksanakan rancangan

Fineknya dengan membubarkan Uni Indonesia-Belanda pada tanggal 13

Febuari 1956 dengan tujuan melepaskan diri dari ikatan ekonomi dengan

Belanda.

75

Sejarah Indonesia

Upaya yang dilakukan lainnya adalah upaya pembentukan Biro Perancang

Nasional pada masa Kabinet Ali II dengan tugas merancang pembangunan

jangka panjang. Biro ini dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian diangkat

menjadi Menteri Perancang Nasional. Biro ini kemudian merancang Rencana

Program Pembanguan Lima Tahun (RPLT) yang rancangannya kemudian

disetujui oleh Parlemen. Namun karena berbagai faktor, baik faktor eksternal

maupun internal, RPLT sangat berat untuk dijalankan. Perekonomian

Indonesia semakin terpuruk ketika ketegangan politik yang timbul tidak dapat

diselesaikan dengan diplomasi, akhirnya memunculkan pemberontakan yang

dalam penumpasannya memerlukan biaya yang cukup tinggi. Kondisi ini

mendorong

meningkatnya

prosentasi

defisit anggaran

pemerintah,

dari angka

20% di tahun 1950 dan 100% di tahun 1960.

KESIMPULAN

1.

Salah satu ciri yang tampak pada masa Demokrasi Parlementer

adalah seringnya terjadi penggantian kabinet, mulai dari

Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali

Sastroamidjojo I, Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali

Sastroamidjojo II, dan Kabinet Djuanda.

2.

Penyebab utama seringnya terjadi pergantian kabinet pada

masa Demokrasi Parlementer adalah karena adanya perbedaan

kepentingan

di antara partai-partai yang tidak pernah dapat

terselesaikan dengan baik. Pada masa ini, sistem kepartaian yang

diterapkan memang bersifat multipartai.

3.

Pemilu pertama di Indonesia berhasil dilaksanakan pada masa

Demokrasi Parlementer, dan menampilkan empat partai besar

dalam perolehan kursi hasil pemilu: PNI, Masyumi, NU, dan PKI.

4.

Dalam bidang ekonomi, kebijakan ekonomi yang diterapkan pada

1950-an umumnya merupakan upaya untuk menggantikan struktur

perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional.

76

Kelas XII SMA/MA

LATIH UJI KOMPETENSI

1.

Tuliskan penyebab langsung jatuhnya Kabinet Sukiman. Jelaskan!

2.

Berikan alasan mengapa sistem kepartaian yang dianut pada

tahun 1950-an adalah multi partai. Kaitkan analisis kalian dengan

pendapat yang pernah dikemukakan oleh Mohammad Hatta!

3.

Jelaskan persamaan dan perbedaan antara pemilu pertama tahun

1955 dengan pemilu tahun 2014!

4.

Jelaskan tujuan diberlakukannya kebijakan ekonomi Benteng.

Jelaskan pula mengapa program ekonomi Benteng ini akhirnya

mengalami kegagalan!