Halaman
199
Sejarah Indonesia
Bab VI
Indonesia Dalam Panggung
Dunia
“.... Mestikah kita bangsa Indonesia, yang memperjuangkan kemerdekaan
bangsa dan negara kita, hanya harus memilih antar pro-Rusia atau pro-
Amerika? Apakah tak ada pendirian yang harus kita ambil dalam mengejar
cita-cita kita? Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus kita
ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam pertarungan politik
internasional, melainkan kita harus menjadi subjek yang menentukan sikap
kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia
merdeka seluruhnya.
“..... perjuangan kita harus diperjuangkan di atas dasar semboyan kita
yang lama: percaya akan diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan kita
sendiri. Ini tidak berarti bahwa kita tidak akan mengambil keuntungan dari
pergolakan politik internasional. Memang tiap-tiap politik untuk mencapai
kedudukan Negara yang kuat ialah mempergunakan pertentangan
internasional yang ada itu untuk mencapai tujuan nasional. Belanda
berbuat begitu, ya segala bangsa sebenarnya berbuat semacam itu, apa
sebab kita tidak akan melakukannya? Tiap-tiap orang di antara kita tentu
ada menaruh simpati terhadap golongan ini atau golongan itu, akan tetapi
perjuangan bangsa tidak bisa dipecah dengan menuruti simpati saja, tetapi
hendaknya didasarkan kepada realitas, kepada kepentingan Negara kita
setiap waktu.” .....(Mohammad Hatta, Mendayung Antara Dua Karang”
Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1976)
Paragraf di atas adalah kutipan pidato Mohammad Hatta di depan
Sidang-sidang BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia)
pada 2 September 1948. Coba Kamu telaah pidato tersebut secara
cermat, setelah itu kaitkan dengan politik luar negeri Indonesia,
“bebas aktif”. Jelaskan menurut Kamu, adakah keterkaitan antara
pidato Mohammad Hatta tahun 1948 dengan politik luar negeri bebas
aktif?
200
Kelas XII SMA/MA
Pada September 1948, sebagai Wakil Presiden merangkap Perdana
Menteri dan Menteri Pertahanan Mohammad Hatta memberikan keterangan
kepada Badan Pekerja KNIP tentang kedudukan politik Negara Indonesia
saat itu. RI menghadapi berbagai rintangan yang tidak sedikit. Perundingan
dengan Belanda yang dimediasi oleh Komisi Tiga Negara dari PBB terancam
terputus. Sementara itu, kaum oposisi yang dimotori Front Demokrasi Rakyat
(FDR) yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin - Muso telah menambah buruk
situasi dan kondisi politik dalam negeri, dengan berbagai tuntutannya, antara
lain: mendesak pemerintah RI untuk membatalkan perjanjian
Renville
yang
notabene dibuat dan disepakati oleh Kabinet Amir Syarifuddin.
Perubahan sikap Amir Syarifudin ini terkait erat dengan terjadinya
perubahan politik
Commintern
(Komunis Internasional) yang pada masa
Perang Dunia menganut
Doktrin Dimitrov
(garis lunak) yang mengizinkan
pihak Komunis bekerja sama dengan kapitalis untuk memerangi Fasis. Namun,
kebijakan ini berubah seiring munculnya Perang Dingin setelah berakhirnya
Perang Dunia II antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok
Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Melalui
Doktrin Zdanov
(garis keras)
komunis diperintahkan untuk kembali menganut sikap menentang kelompok
kapitalis. Perubahan sikap
Commintern
ini diyakini memicu perubahan sikap
partai-partai komunis di seluruh dunia, yang pada masa Perang Dunia II
bekerjasama dengan kelompok nasionalis berbalik menentang, hal inilah yang
diyakini menjadi latar belakang muncul perubahan sikap Amir Syarifudin dan
pecahnya pemberontakan PKI di Madiun pada September 1948.
Mengenai pertentangan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam
Perang Dingin di masa itu, fraksi FDR PKI dalam BP KNIP mendesak supaya
RI memilih pihak Uni Soviet. Terkait desakan tersebut, Hatta menyatakan
bahwa politik RI tidak memilih salah satu pihak, melainkan memilih jalan
sendiri untuk mencapai kemerdekaan. Sejak keterangan Hatta tersebut politik
Sumber: SindoNews.com
Gambar 6.1 M.Hatta sedang berpidato di depan sidang BP KNIP
201
Sejarah Indonesia
luar negeri RI disebut politik bebas dan aktif. Bebas artinya menentukan jalan
sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun juga; aktif artinya ikut serta
secara aktif dalam menciptakan perdamaian dunia dan bersahabat dengan
semua bangsa.
Dalam keterangan pemerintah di hadapan sidang BP KNIP tanggal
2 September 1948, Bung Hatta selaku Perdana Menteri mengatakan:
“pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek
dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus tetap menjadi
subjek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan
tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya”. Selanjutnya Bung
Hata berkata: “Ini tidak berarti bahwa kita tidak akan mengambil keuntungan
dari pada pergolakan internasional”. Dengan kata lain, sikap netral yang
diambil Indonesia, bukan berarti Indonesia mengisolasi diri dan pasif terhadap
perkembangan dunia internasional. Sebaliknya justru Indonesia harus aktif
dalam forum internasional serta mampu memanfaatkannya demi kepentingan
nasional.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia merupakan amanat paragraf
keempat Preambule Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa
Pemerintah Indonesia harus turut serta dalam mewujudkan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Makna dari
amanat tersebut, pemerintah Indonesia harus turut serta memperjuangkan
terbebasnya pranata dunia dari segala macam bentuk kolonialisme. Indonesia
juga harus secara aktif mewujudkan tercapainya perdamaian dunia berupa
keterlibatan
aktifnya
dalam penyelesaian
konflik
di kawasan-kawasan
tertentu
maupun perjuangan bagi terciptanya perdamaian dunia.
Peran aktif Indonesia dalam pergaulan internasional diimplementasikan
dalam berbagai partisipasi aktif Indonesia dalam rangka menjaga perdamaian
dunia. Beberapa peran aktif di berbagai peristiwa seperti melaksanakan
Konferensi Asia Afrika, aktif dalam Gerakan Non Blok, membentuk ASEAN,
dan mengirim Pasukan Garuda ke berbagai wilayah konflik di dunia.
Untuk mendapatkan pengetahuan tentang politik luar negeri Indonesia
secara utuh dalam bab ini akan bahas tentang landasan politik luar negeri
bebas aktif Indonesia dan pelaksanaannya sejak tahun 1948 hingga masa
Reformasi. Selain itu akan dibahas juga peran aktif Indonesia di panggung
dunia/internasional khususnya dalam menjaga perdamaian dunia.
202
Kelas XII SMA/MA
203
Sejarah Indonesia
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari uraian ini, diharap kamu dapat:
1.
Menjelaskan Landasan Politik Luar Negeri Bebas Aktif
Indonesia.
2.
Menganalisis perkembangan politik luar negeri Indonesia
sejak tahun 1945
sampai dengan era Reformasi.
3.
Menganalisis peran Indonesia dalam percaturan politik
internasional/panggung dunia
khususnya dalam menjaga
perdamaian dunia.
4.
Mengambil hikmah dari penerapan politik luar negeri bebas
aktif dan partisipasi aktif Indonesia di panggung dunia.
ARTI PENTING
Mempelajari sejarah Indonesia dalam panggung dunia
merupakan hal yang sangat penting agar kita bisa mengetahui
faktor-faktor yang melatarbelakangi
lahirnya kebijakan
politik
luar negeri bebas aktif serta
implementasi/penerapannya sejak
proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945 hingga masa Reformasi.
Selain itu, kita bisa mengambil hikmah dari berbagai peristiwa
perjalanan
politik luar negeri bebas aktif dari setiap periode
pemerintahan sehingga
kita dapat mengambil hikmah dan
pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut.
204
Kelas XII SMA/MA
Mengamati Lingkungan
Kamu diskusikan kebijakan politik luar negeri bebas aktif Indonesia saat
ini dalam kaitannya dengan perkembangan politik luar negeri Indonesia
saat ini.
Coba kamu temu kenali isu-isu atau masalah-masalah
di kawasan
yang memperlihatkan
konflik
kepentingan
antarnegara.
Bagaimana
pendapat kalian mengenai sikap Indonesia dalam merespons isu dan
masalah yang berkembang di atas.
A. Landasan Ideal dan Konstitusional Politik Luar Negeri
Indonesia Bebas Aktif
Politik luar negeri suatu negara lahir ketika negara itu sudah dinyatakan
sebagai suatu negara yang berdaulat. Setiap entitas negara yang berdaulat
memiliki kebijakan yang mengatur hubungannya dengan dunia internasional,
baik berupa negara maupun komunitas internasional lainnya. Kebijakan
tersebut merupakan bagian dari politik luar negeri yang dijalankan negara dan
merupakan pencerminan dari kepentingan nasionalnya. Indonesia sebagai
sebuah negara berdaulat juga menjalankan politik luar negeri yang senantiasa
berkembang disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri dan perubahan
situasi internasional.
Landasan ideal dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah
Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila dijadikan sebagai pedoman dan pijakan dalam melaksanakan
politik luar negeri Indonesia. Mohammad Hatta menyebutnya sebagai salah
satu faktor yang membentuk politik luar negeri Indonesia. Kelima sila yang
termuat dalam Pancasila, berisi pedoman dasar bagi pelaksanaan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencakup seluruh sendi kehidupan
manusia. Hatta lebih lanjut mengatakan, bahwa Pancasila merupakan salah
satu faktor objektif yang berpengaruh atas politik luar negeri Indonesia.
Hal ini karena Pancasila sebagai falsafah negara mengikat seluruh bangsa
Indonesia, sehingga golongan atau partai politik manapun yang berkuasa di
Indonesia tidak dapat menjalankan suatu politik negara yang menyimpang
dari Pancasila.
205
Sejarah Indonesia
Sedangkan landasan konstitusional dalam pelaksanaan politik luar negeri
Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea
pertama
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan
oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”
dan alinea keempat
”....
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial....”.
Tujuan politik luar negeri bebas aktif adalah untuk mengabdi kepada tujuan
nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
alinea keempat yang menyatakan:
“Melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial....”
Kemudian agar prinsip bebas aktif dapat dioperasionalisasikan dalam
politik luar negeri Indonesia, maka setiap periode pemerintahan menetapkan
landasan operasional politik luar negeri Indonesia yang senantiasa berubah
sesuai dengan kepentingan nasional.
Sejak awal kemerdekaan hingga masa Orde Lama, landasan operasional
dari politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif sebagian besar dinyatakan
melalui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno. Beberapa saat
setelah kemerdekaan, dikeluarkanlah Maklumat Politik Pemerintah tanggal
1 November 1945 yang isinya adalah; politik damai dan hidup berdampingan
secara damai; tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain;
politik bertetangga baik dan kerja sama dengan semua negara di bidang
ekonomi, politik dan lain-lain; serta selalu mengacu pada Piagam PBB dalam
melakukan hubungan dengan negara lain.
Selanjutnya pada masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 landasan
operasional politik luar negeri Indonesia adalah berdasarkan UUD 1945 yang
terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama, pasal 11 dan pasal 13
ayat 1 dan 2 UUD 1945, Amanat Presiden yang berjudul “Penemuan Kembali
Revolusi Kita” pada 17 Agustus 1959 atau dikenal sebagai “Manifesto Politik
Republik Indonesia”.
Amanat Presiden itu sendiri kemudian dijadikan sebagai Garis Besar
Haluan Negara. Berkaitan dengan kebijakan politik luar negeri, Manifesto
tersebut memuat tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek, yaitu:
206
Kelas XII SMA/MA
Tudjuan djangka pendek jaitu melandjutkan perdjuangan anti imperialisme
ditambah dengan mempertahankan kepribadian Indonesia di tengah-
tengah tarikan-tarikan ke kanan dan ke kiri jang sekarang sedang berlaku
kepada negara kita dalam pergolakan dunia menudju kepada suatu
imbangan baru. Sementara dalam djangka pandjang di bidang luar negeri,
Revolusi Indonesia bertudjuan melenjapkan imperialisme di mana-mana,
dan mentjapai dasar-dasar bagi perdamaian dunia jang kekal dan abadi.
Menurut Manipol, diplomasi jang sesuai dengan fungsinja sebagai art
jang berhubungan dengan tjara melaksanakannja harus tidak mengenal
kompromi, harus radikal dan revolusioner.
(Panitia Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri, 1971. Jakarta:
Deplu, 1971, hlm.259)
Tujuan jangka pendek dan jangka panjang tidak terlepas dari sejarah
Indonesia, sebagai bangsa yang pernah mengalami penjajahan. Walaupun
Indonesia sudah merdeka, perjuangan untuk melenyapkan imperialisme belum
berakhir, sebab negara-negara yang dianggap imperialis dan kolonialis (Barat),
masih ada dan berusaha menanamkan pengaruhnya. Indonesia berusaha pula
menghindari dari keberpihakan pada dua blok yang bersengketa dan masuk
menjadi anggota Non Blok.
Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik/Manipol Indonesia berdasarkan
pada amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang terkenal dengan nama
“Djalanja Revolusi Kita”, yang menetapkan penegasan mengenai cara-cara
pelaksanaan Manipol di bidang politik luar negeri. Politik luar negeri Indonesia
tidak netral, tidak menjadi penonton dan tidak tanpa prinsip. Politik bebas
tidak sekedar “cuci tangan”, tidak sekedar defensif, tapi aktif dan berprinsip
serta berpendirian.
Manipol, Djarek (Djalanja Revolusi Kita), merupakan embrio kelahiran
serta doktrin baru, yaitu dunia tidak terbagi dalam Blok Barat, Blok Timur
dan Blok Asia Afrika/Blok ketiga. Akan tetapi dunia terbagi menjadi dua
Blok yang saling bertentangan yaitu
New Emerging Forces/Nefos dan Old
Established Forces/Oldefos.
Nefos merupakan kekuatan-kekuatan baru yang sedang bangkit.
Sementara Oldefos merupakan kekuatan-kekuatan lama yang sudah mapan.
Doktrin Nefos dan Oldefos menjadi dasar politik luar negeri anti imperialis
dan kolonialis yang lebih militan. Soekarno mewujudkan gagasan Nefos dan
Oldefos itu dengan suatu strategi diplomasi yang agresif dan konfrontatif
dengan negara-negara Barat.
207
Sejarah Indonesia
Pada masa Orde Baru, landasan operasional politik luar negeri Indonesia
kemudian semakin dipertegas dengan beberapa peraturan formal, di antaranya
adalah Ketetapan MPRS No. XII/ MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang
penegasan kembali landasan kebijaksanaan politik luar negeri Indonesia. TAP
MPRS ini menyatakan bahwa sifat politik luar negeri Indonesia adalah:
1)
Bebas aktif, anti-imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk
manifestasinya dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
2)
Mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan
rakyat.
Selanjutnya landasan operasional kebijakan politik luar negeri RI dipertegas
lagi dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara tanggal 22 Maret 1973, yang berisi:
1) Terus melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan
mengabdikannya kepada kepentingan nasional, khususnya pembangunan
ekonomi;
2)
Mengambil langkah-langkah untuk memantapkan stabilitas wilayah
Asia Tenggara
dan Pasifik
Barat Daya, sehingga
memungkinkan
negara-
negara di wilayah ini mampu mengurus masa depannya sendiri melalui
pembangunan ketahanan nasional masing-masing, serta memperkuat
wadah dan kerja sama antara negara anggota perhimpunan bangsa-bangsa
Asia Tenggara;
3)
Mengembangkan kerja sama untuk maksud-maksud damai dengan semua
negara dan badan-badan internasional dan lebih meningkatkan peranannya
dalam membantu bangsa-bangsa yang sedang memperjuangkan
kemerdekaannya tanpa mengorbankan kepentingan dan kedaulatan
nasional.
Ketetapan-ketetapan MPR era Orde Baru dijabarkan dalam pola umum
pembangunan jangka panjang dan pola umum Pelita dua hingga enam, pada
intinya menyebutkan bahwa dalam bidang politik luar negeri yang bebas
dan aktif diusahakan agar Indonesia dapat terus meningkatkan peranannya
dalam memberikan sumbangannya untuk turut serta menciptakan perdamaian
dunia yang abadi, adil dan sejahtera. Namun demikan, menarik untuk dicatat
bahwa TAP MPR RI No. IV/MPR/1973 berbeda dengan TAP MPRS tahun
1966. Perbedaan ini seiring dengan pergantian pemerintahan dari Soekarno
ke Soeharto, sehingga konsep perjuangan Indonesia yang selalu didengung-
dengungkan oleh Soekarno sebagai anti-kolonialisme dan anti-imperialisme
tidak lagi memunculkan dalam TAP MPR tahun 1973 di atas. Selain itu, sosok
208
Kelas XII SMA/MA
politik luar negeri Indonesia juga lebih difokuskan pada upaya pembangunan
bidang ekonomi dan peningkatan kerja sama dengan dunia internasional.
Selanjutnya TAP MPR RI No. IV/MPR/1978, pelaksanaan politik luar
negeri Indonesia juga telah diperluas, yaitu ditujukan untuk kepentingan
pembangunan di segala bidang. Realitas ini berbeda dengan TAP-TAP MPR
sebelumnya, yang pada umumnya hanya mencakup satu aspek pembangunan
saja, yaitu bidang ekonomi. Pada TAP MPR RI No. II/MPR/1983, sasaran
politik
luar negeri
Indonesia
dijelaskan
secara
lebih spesifik
dan rinci.
Perubahan ini menandakan bahwa Indonesia sudah mulai mengikuti dinamika
politik internasional yang berkembang saat itu.
Pasca-Orde Baru atau dikenal dengan periode Reformasi yang dimulai
dari masa pemerintahan B.J. Habibie sampai pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono secara substansif landasan operasional politik luar negeri
Indonesia dapat dilihat melalui: ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tanggal
19 Oktober 1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
dalam rangka mewujudkan tujuan nasional periode 1999-2004. GBHN ini
menekankan pada faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya krisis
ekonomi dan krisis nasional pada 1997, yang kemudian dapat mengancam
integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di antaranya adanya
ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang
demokratis dan berkeadilan. Oleh karena itu, GBHN juga menekankan
perlunya upaya reformasi di berbagai bidang, khususnya memberantas segala
bentuk penyelewengan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme serta kejahatan
ekonomi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Selanjutnya ketetapan ini juga menetapkan sasaran-sasaran yang harus dicapai
dalam pelaksanaan politik dan hubungan luar negeri, yaitu:
1)
menegaskan kembali pelaksanaan politik bebas dan aktif menuju
pencapaian tujuan nasional;
2)
ikut serta di dalam perjanjian internasional dan peningkatan kerja
sama untuk kepentingan rakyat Indonesia;
3)
memperbaiki performa, penampilan diplomat Indonesia dalam
rangka suksesnya pelaksanaan diplomasi pro-aktif di semua bidang;
4)
meningkatkan kualitas diplomasi dalam rangka mencapai pemulihan
ekonomi yang cepat melalui intensifikasi kerja sama regional
dan internasional;
209
Sejarah Indonesia
5)
mengintensifkan kesiapan Indonesia memasuki era perdagangan
bebas;
6)
memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara-negara tetangga;
7)
mengintensifkan kerja sama dengan negara-negara tetangga dalam
kerangka ASEAN dengan tujuan memelihara stabilitas dan
kemakmuran di wilayah Asia Tenggara.
Ketetapan MPR di atas, secara jelas menegaskan arah politik luar negeri
Indonesia yang bebas dan aktif, berorientasi untuk kepentingan nasional,
menitikberatkan pada solidaritas antarnegara berkembang, mendukung
perjuangan kemerdekaan bangsa, menolak segala bentuk penjajahan serta
meningkatkan kemandirian bangsa dan kerja sama internasional bagi
kesejahteraan rakyat.
TUGAS
Buatlah rangkuman materi tentang
landasan
ideal, konstitusional, dan
operasional politik luar negeri
indonesia.
B. Politik Luar Negeri Bebas Aktif dan Pelaksanaannya
1. Lahirnya Politik Luar Negeri Bebas Aktif
Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia
belum memiliki rumusan yang jelas mengenai bentuk politik luar negerinya.
Akan tetapi pada masa tersebut politik luar negeri Indonesia sudah memiliki
landasan operasional yang jelas, yaitu hanya mengonsentrasikan diri pada
tiga sasaran utama yaitu; 1). Memperoleh pengakuan internasional terhadap
kemerdekaan RI, 2). Mempertahankan kemerdekaan RI dari segala usaha
Belanda untuk kembali bercokol di Indonesia, 3). Mengusahakan serangkaian
diplomasi untuk penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda melalui negosiasi
dan akomodasi kepentingan, dengan menggunakan bantuan negara ketiga
dalam bentuk
good
offices
ataupun mediasi dan juga menggunakan jalur
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sesuai dengan sasaran utama kebijakan politik luar negeri sebagaimana
disebut di atas, maka
Indonesia harus berusaha memperkuat kekuatan
diplomasinya dengan menarik simpati negara-negara lain.
210
Kelas XII SMA/MA
Dalam Perang Dingin yang sedang berkecamuk antara Blok Amerika
(Barat) dengan Blok Uni Soviet (Timur) pada masa awal berdirinya negara
Indonesia, Indonesia memilih sikap tidak memihak kepada salah satu blok
yang ada. Hal ini untuk pertama kali diuraikan Syahrir, yang pada waktu
itu menjabat sebagai Perdana Menteri di dalam pidatonya pada
Inter Asian
Relations Conference
di New Delhi pada tanggal 23 Maret–2 April 1947.
Dalam pidatonya tersebut, Syahrir mengajak bangsa-bangsa Asia untuk
bersatu atas dasar kepentingan bersama demi tercapainya perdamaian dunia,
yang hanya bisa dicapai dengan cara hidup berdampingan secara damai
antarbangsa serta menguatkan ikatan antara bangsa ataupun ras yang ada
di dunia. Dengan demikian di dalam Perang Dingin antara Amerika Serikat
dan Uni Soviet yang memecah belah persatuan, sikap tidak memihak adalah
sikap yang paling tepat untuk menciptakan perdamaian dunia atau paling tidak
meredakan Perang Dingin tersebut.
Keinginan Indonesia pada awal kemerdekaannya untuk tidak memihak
dalam Perang Dingin tersebut selain untuk meredakan ketegangan yang ada
juga dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional Indonesia saat itu, yaitu
mencari dukungan dunia Internasional terhadap perjuangan kemerdekaannya.
Oleh karena itu, keterikatan pada salah satu kubu (blok) yang ada belum tentu
akan mendatangkan keuntungan bagi perjuangan kemerdekaannya. Karena
pada waktu itu negara-negara dari Blok Barat (Amerika) masih ragu-ragu
untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia menghadapi Belanda
yang juga termasuk salah satu dari Blok Barat. Di lain pihak, para pemimpin
Indonesia saat itu juga masih ragu-ragu dan belum dapat memastikan apa
tujuan sebenarnya dari dukungan-dukungan yang diberikan negara Blok
Timur terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia di forum PBB. Selain
itu, Indonesia pada saat itu disibukkan oleh usaha mendapatkan pengakuan
atas kedaulatannya, sehingga Indonesia harus berkonsentrasi pada masalah
tersebut.
Secara resmi politik luar negeri Indonesia baru mendapatkan bentuknya
pada saat Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan keterangannya
kepada BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) mengenai
kedudukan politik Indonesia pada bulan September 1948, pada saat itu Hatta
mengatakan bahwa:
“.........tetapi mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan
kemerdekaan bangsa dan negara kita, harus memilih antara pro-Rusia
atau pro-Amerika. Apakah tidak ada pendirian yang lain yang harus kita
ambil dalam mengejar cita-cita kita? Pemerintahan berpendapat bahwa
pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek
211
Sejarah Indonesia
dalam pertarungan politik Internasional, melainkan kita harus menjadi
subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan
tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya.” ( Sumber: Sejarah
Diplomasi RI dari Masa ke Masa, Deplu, 2004)
Dari pernyataan Mohammad Hatta tersebut jelas terlihat bahwa Indonesia
berkeinginan untuk tidak memihak salah satu blok yang ada pada saat itu.
Bahkan bercita-cita untuk menciptakan perdamaian dunia yang abadi atau
minimal meredakan Perang Dingin yang ada dengan cara bersahabat dengan
semua negara baik di Blok Barat maupun di Blok Timur, karena hanya
dengan cara demikian cita-cita perjuangan kemerdekaan bangsa dan negara
Indonesia dapat dicapai. Tetapi walaupun Indonesia memilih untuk tidak
memihak kepada salah satu blok yang ada, hal itu tidak berarti Indonesia
berniat untuk menciptakan blok baru. Karena itu menurut Hatta, Indonesia
juga tidak bersedia mengadakan atau ikut campur dengan suatu blok ketiga
yang dimaksud untuk mengimbangi kedua blok raksasa itu.
Sikap yang demikian inilah yang kemudian menjadi dasar politik
luar negeri Indonesia yang biasa disebut dengan istilah Bebas Aktif, yang
artinya dalam menjalankan politik luar negerinya Indonesia tidak hanya
tidak memihak tetapi juga “aktif“ dalam usaha memelihara perdamaian dan
meredakan pertentangan yang ada di antara dua blok tersebut dengan cara
“bebas“ mengadakan persahabatan dengan semua negara atas dasar saling
menghargai.
Sejak Mohammad Hatta menyampaikan pidatonya berjudul ”Mendayung
Antara Dua Karang” di depan Sidang BP KNIP pada bulan September 1948,
Indonesia menganut politik luar negeri bebas-aktif yang dipahami sebagai
sikap dasar Indonesia yang menolak masuk dalam salah satu Blok negara-
negara superpower, menentang pembangunan pangkalan militer asing di
dalam negeri, serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara
besar. Namun, Indonesia tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya
meredakan ketegangan di dunia internasional (Pembukaan UUD 1945).
Politik luar negeri RI yang bebas dan aktif itu dapat diartikan sebagai
kebijaksanaan dan tindakan-tindakan yang diambil atau sengaja tidak
diambil oleh Pemerintah dalam hubungannya dengan negara-negara asing
atau organisasi-organisasi internasional dan regional yang diarahkan untuk
Diskusikanlah dalam kelompok isi atau kandungan
dari Pembukaan UUD 1945, jelaskan kaitannya dengan
pelaksanaan politik luar negeri “Bebas Aktif ”.
212
Kelas XII SMA/MA
tercapainya tujuan nasional bangsa. Politik luar negeri bebas aktif inilah yang
kemudian menjadi prinsip dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia
pada masa pemerintahan selanjutnya. Tentunya pelaksanaan politik luar
negeri bebas aktif ini juga disesuaikan dengan kepentingan dalam negeri serta
konstelasi politik internasional pada saat itu.
2.
Politik Luar Negeri Indonesia Masa Demokrasi Parlermenter
1950-1959
Prioritas utama politik luar negeri dan diplomasi Indonesia pasca
kemerdekaan hingga tahun 1950an lebih ditujukan untuk menentang segala
macam bentuk penjajahan di atas dunia, termasuk juga untuk memperoleh
pengakuan internasional atas proses dekolonisasi yang belum selesai di
Indonesia, dan menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia melalui politik
bebas aktifnya. Usaha dekolonisasi yang dilakukan oleh pihak Belanda dan
Sekutu membuat Indonesia memberikan perhatian ekstra pada bagaimana
mempertahankan kemerdekaan yang telah digapai dan diproklamasikan pada
17 Agustus 1945. Indonesia dituntut untuk cerdas dalam menentukan strategi
agar kemerdekaan yang telah diraih tidak sia-sia.
Pada waktu itu Indonesia berusaha keras untuk mendapatkan pengakuan
dunia internasional dengan cara diplomasi. Keberhasilan Indonesia
mendapatkan pengakuan dunia internasional melalui meja perundingan
ini menjadi titik tolak dari perjuangan diplomasi Indonesia mencapai
kepentingannya. Betapa pada masa itu, kekuatan diplomasi Indonesia disegani
oleh negara-negara lain. Pada kondisi kemampuan militer dan ekonomi yang
kurang, Indonesia mampu meraih simpati publik internasional dan berhasil
mendapatkan pengakuan kedaulatan secara resmi melalui perundingan.
Sejak pertengahan tahun 1950-an, Indonesia telah memprakarsai
dan mengambil sejumlah kebijakan luar negeri yang sangat penting dan
monumental, seperti Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955.
Konsep politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif merupakan gambaran
dan usaha Indonesia untuk membantu terwujudnya perdamaian dunia. Salah
satu implementasinya adalah keikutsertaan Indonesia dalam membentuk
solidaritas bangsa-bangsa yang baru merdeka dalam forum Gerakan Non-Blok
(GNB) atau (
Non-Aligned Movement
/NAM).
Forum
ini merupakan
refleksi
atas terbaginya dunia menjadi dua kekuatan besar, yakni Blok Barat (Amerika
Serikat ) dan Blok Timur (Uni Soviet). Konsep politik luar negeri yang bebas
aktif ini berusaha membantu bangsa-bangsa di dunia yang belum terlepas dari
belenggu penjajahan.
213
Sejarah Indonesia
3.
Politik Luar Negeri Indonesia Masa (Demokrasi Terpimpin)
Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), politik luar negeri
Indonesia bersifat
high profile
, yang diwarnai sikap anti-imperialisme dan
kolonialisme yang tegas dan cenderung bersifat konfrontatif. Pada era itu
kepentingan nasional Indonesia adalah pengakuan kedaulatan politik dan
pembentukan identitas bangsa
(national character building)
. Kepentingan
nasional itu diterjemahkan dalam suatu kebijakan luar negeri yang bertujuan
untuk mencari dukungan international terhadap eksistensi Indonesia sebagai
bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat, sekaligus menunjukan
karakter atau identitas bangsa Indonesia pada bangsa-bangsa lain di dunia
internasional.
“Onward no retreat”
adalah kata-kata yang sering diucapkan dalam
beberapa pidato Presiden Soekarno yang menunjukkan tekad revolusionernya
dalam membangun Kekuatan Dunia Baru
(new emerging forces).
Dalam
mempromosikan Indonesia ke dunia internasional Presiden Soekarno juga
menunjukkan bahwa dia mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat
yang tercermin dari Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) yang
menjadi jiwa bangsa Indonesia, yang diperhitungkan dapat menjadi satu
kekuatan (Nasakom Jiwaku). untuk mengalahkan
Nekolim
(Neo Kolonialisme
dan Imperialisme). Dari sini dapat dilihat adanya pergeseran arah politik
luar negeri Indonesia yakni condong ke blok komunis, baik secara domestik
maupun internasional. Hal ini dilihat dengan adanya kolaborasi politik antara
Indonesia dengan China dan bagaimana Presiden Soekarno memberi peluang
politik kepada PKI sehingga partai yang pernah menikam perjuangan bangsa
Indonesia pada tahun 1948, berkembang menjadi partai terbesar dan paling
berpengaruh di Indonesia sekitar tahun 1964-1965. Kebijakan Soekarno itu
didasari oleh keinginannya agar kaum komunis yang merupakan salah satu
kekuatan politik mampu berasimilasi dengan revolusi Indonesia dan tidak
merasa dianggap sebagai kelompok luar.
Politik luar negeri pada masa Demokrasi Terpimpin juga ditandai dengan
usaha keras Presiden Soekarno membuat Indonesia semakin dikenal di dunia
internasional melalui beragam konferensi internasional yang diadakan maupun
diikuti Indonesia. Tujuan awal dari dikenalnya Indonesia adalah mencari
dukungan atas usaha dan perjuangan Indonesia merebut dan mempertahankan
Irian Barat. Namun seiring berjalannya waktu, status dan
prestige
menjadi
faktor-faktor pendorong semakin gencarnya Soekarno melaksanakan aktivitas
politik luar negeri ini. Sebagai dampaknya Soekarno banyak meninggalkan
masalah-masalah domestik seperti masalah ekonomi. Soekarno beranggapan
214
Kelas XII SMA/MA
bahwa pertumbuhan ekonomi pada fase awal berdirinya suatu negara adalah
hal yang tidak terlalu penting. Ia beranggapan bahwa pemusnahan pengaruh-
pengaruh asing baik itu dalam segi politik, ekonomi maupun budaya adalah
hal-hal yang harus diutamakan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi
domestik. Soekarno dengan gencar melancarkan politik luar negeri aktif
namun tidak diimbangi dengan kondisi perekonomian dalam negeri yang pada
kenyatannya
morat-marit
akibat
inflasi
yang terjadi
secara
terus-menerus,
penghasilan negara merosot sedangkan pengeluaran untuk proyek-proyek
Politik Mercusuar seperti GANEFO (
Games of The New Emerging Forces
)
dan CONEFO
( Conference of The New Emerging Forces)
terus membengkak.
Hal inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab krisis politik dan
ekonomi Indonesia pada masa akhir pemerintahan Demokrasi Terpimpin.
Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru berkaitan
dengan sikap konfrontasi penuhnya terhadap imperialisme dan kolonialisme.
Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu
“Oldefos”
(Old Established Forces)
dan “Nefos”
(New Emerging Forces
).
Soekarno menyatakan bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya
akibat dari pertentangan antara kekuatan-kekuatan lama (Oldefos) dan
kekuatan-kekuatan yang baru bangkit atau negara-negara progresif (Nefos).
Imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme merupakan paham-paham
yang dibawa dan dijalankan oleh negara-negara kapitalis Barat. Dalam
upayanya mengembangkan Nefos, Presiden Soekarno melaksanakan Politik
Mercusuar bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang mampu menerangi
jalan bagi Nefos di seluruh dunia. Salah satu tindakan usaha penguatan
eksistensi Indonesia dan Nefos juga dapat dilihat dari pembentukan poros
Jakarta – Peking yang membuat Indonesia semakin dekat dengan negara-
negara sosialis dan komunis seperti China.
Faktor dibentuknya poros ini antara lain,
pertama
, karena konfrontasi
dengan Malaysia menyebabkan Indonesia membutuhkan bantuan militer dan
logistik, mengingat Malaysia mendapat dukungan penuh dari Inggris, Indonesia
pun harus mencari kawan negara besar yang mau mendukungnya dan bukan
sekutu Inggris, salah satunya adalah China.
Kedua
, Indonesia perlu mencari
negara yang mau membantunya dalam masalah dana dengan persyaratan yang
mudah, yakni negara China dan Uni Soviet. Namun sayangnya, seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, kebijakan-kebijakan luar negeri yang diinisiasi
Soekarno untuk Indonesia rupanya kurang memperhatikan sektor domestik.
Ketidaksukaan Presiden Soekarno terhadap imperialisme karena dalam
kenyataannya, sebagian dari bangsa dan negara Indonesia masih dikuasai
Belanda, yakni Irian Barat (sekarang Papua). Setelah jalan diplomasi selalu
215
Sejarah Indonesia
mengalami kegagalan, maka Soekarno memutuskan akan merebut kembali
Irian Barat dengan kekuatan bersenjata. Melihat kesungguhan Indonesia,
sikap Amerika Serikat yang kemudian berubah membantu Indonesia,
terutama setelah Indonesia memperoleh bantuan persenjataan dari Uni Soviet
guna mendapatkan kembali Irian Barat. Taktik konfrontatif ini kemudian
digunakan kembali oleh Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia
dan Malaysia akibat pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap
oleh Indonesia sebagai produk
Nekolim
(Neokolonialisme dan imperialisme).
Puncak ketegangan terjadi ketika Malaysia ditetapkan sebagai Anggota
Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB. Hal ini menyulut kemarahan Indonesia.
Hingga akhirnya pada 15 September 1965 Indonesia menyatakan keluar dari
PBB karena Soekarno beranggapan bahwa PBB berpihak pada Blok Barat.
Mundurnya Indonesia dari PBB berujung pada terhambatnya pembangunan
dan modernisasi Indonesia karena menjauhnya Indonesia dari pergaulan
internasional.
4. Politik Luar Negeri Indonesia pada Masa Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru terjadi perubahan pada pola hubungan luar negeri
Indonesia dalam segala bidang. Pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia
lebih memfokuskan pada pembangunan sektor ekonomi. Pembangunan
ekonomi tidak dapat dilaksanakan secara baik, tanpa adanya stabilitas politik
keamanan dalam negeri maupun di tingkat regional. Pemikiran inilah yang
mendasari Presiden Soeharto mengambil beberapa langkah kebijakan politik
luar negeri (polugri), yaitu membangun hubungan yang baik dengan pihak-
pihak Barat dan “
good neighbourhood policy
” melalui
Association South East
Asian Nation
(ASEAN). Titik berat pembangunan jangka panjang Indonesia
saat itu adalah pembangunan ekonomi, untuk mencapai struktur ekonomi
yang seimbang dan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, pada dasawarsa
abad yang akan datang. Tujuan utama politik luar negeri Soeharto pada awal
penerapan
New Order
(tatanan baru) adalah untuk memobilisasi sumber dana
internasional demi membantu rehabilitasi ekonomi negara dan pembangunan,
serta untuk menjamin lingkungan regional yang aman yang memudahkan
Indonesia untuk berkonsentrasi pada agenda domestiknya.
Berikut pernyataan Presiden Soeharto mengenai politik luar negeri
Indonesia yang bebas aktif.
“ Bagi Indonesia, politik luar negerinya yang berprinsip non-Blok tidak
identik dengan tidak adanya keterlibatan. Itulah alasannya mengapa
Indonesia lebih suka mengatakannya sebagai politik luar negeri yang
bebas dan aktif karena politik luar negeri kita tidak hampa, mati, atau tidak
berjalan. Politik luar negeri Indonesia adalah bebas di mana Indonesia
216
Kelas XII SMA/MA
bebas dari ikatan apapun juga, baik itu dalam secara militer, politik ataupun
secara ideologis bahwa Indonesia benar-benar terbebas dari berbagai
masalah atau peristiwa dengan tidak adanya pengaruh dari pihak manapun,
baik secara militer, politis, ataupun secara ideologis.” (Kumpulan Pidato
Presiden Soeharto, http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/speech)
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam bidang politik luar
negeri, kebijakan politik luar negeri Indonesia lebih menaruh perhatian khusus
terhadap soal regionalisme. Para pemimpin Indonesia menyadari pentingnya
stabilitas regional akan dapat menjamin keberhasilan rencana pembangunan
Indonesia. Kebijakan luar negeri Indonesia juga mempertahankan persahabatan
dengan pihak Barat, memperkenalkan pintu terbuka bagi investor asing,
serta bantuan pinjaman. Presiden Soeharto juga selalu menempatkan posisi
Indonesia sebagai pemeran utama dalam pelaksanaan kebijakan luar negerinya
tersebut, seperti halnya pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Beberapa sikap Indonesia dalam melaksanakan politik luar negerinya
antara lain; menghentikan konfrontasi dengan Malaysia. Upaya mengakhiri
konfrontasi terhadap Malaysia dilakukan agar Indonesia mendapatkan kembali
kepercayaan dari Barat dan membangun kembali ekonomi Indonesia melalui
investasi dan bantuan dari pihak asing. Tindakan ini juga dilakukan untuk
menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia meninggalkan kebijakan luar
negerinya yang agresif. Konfrontasi berakhir setelah Adam Malik yang pada
saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri menandatangani Perjanjian
Bangkok pada tanggal 11 Agustus 1966 yang isinya mengakui Malaysia
sebagai suatu negara.
Selanjutnya Indonesia juga terlibat aktif membentuk organisasi ASEAN
bersama dengan Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina. Indonesia
memainkan peranan utama dalam pembentukan organisasi ASEAN. ASEAN
merupakan wadah bagi politik luar negeri Indonesia. Kerja sama ASEAN
dipandang sebagai bagian terpenting dari kebijakan luar negeri Indonesia. Ada
kesamaan kepentingan nasional antara negara-negara anggota ASEAN, yaitu
pembangunan ekonomi dan sikap nonkomunis. Dengan demikian, stabilitas
negara-negara anggota ASEAN bagi kepentingan nasional Indonesia sendiri
sangatlah penting. ASEAN dijadikan barometer utama pelaksanaan kerangka
politik luar negeri Indonesia. Berbagai kebutuhan masyarakat Indonesia coba
difasilitasi dan dicarikan solusinya dalam forum regional ini. Pemerintahan
Soeharto mencoba membangun Indonesia sebagai salah satu negara Industri
baru di kawasan Asia Tenggara, sehingga pernah disejajarkan dengan Korea
Selatan, Taiwan, dan Thailand sebagai macan-macan Asia baru. Di samping
itu, politik luar negeri Indonesia dalam forum ASEAN, juga untuk membentuk
citra positif Indonesia sebagai salah satu negara yang paling demokratis dan
sangat layak bagi investasi industri.
217
Sejarah Indonesia
Presiden
Soeharto
memakai
Kerja sama Ekonomi
Asia Pasifik
(APEC)
untuk memproyeksikan posisi kepemimpinan Indonesia. Pada awalnya
Indonesia tidak setuju dengan APEC. Kekhawatiran itu didasarkan
pada ketidakmampuan Indonesia menghadapi liberalisasi perdagangan.
Kekhawatiran lainnya adalah kehadiran APEC dapat mengikis kerja sama
antara negara-negara ASEAN. Setelah berakhirnya Perang Dingin, Indonesia
mengubah pandangannya terhadap APEC. Faktor pendorongnya antara
lain adalah karena Indonesia menjadi ketua pertemuan APEC selanjutnya.
Keberhasilan Indonesia menjadi ketua pertemuan APEC dan juga keberhasilan
menjadi Ketua Gerakan Non Blok X pada tahun 1992, setidaknya memberikan
pengakuan bahwa Indonesia adalah salah satu pemimpin internasional.
Selain ASEAN, keterlibatan Indonesia dalam membentuk kondisi
perekonomian global yang stabil dan kondusif, serta memaksimalkan
kepentingan nasional, Indonesia juga masuk sebagai anggota negara-negara
produsen atau penghasil minyak dalam OPEC. OPEC menjadi barometer
pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia dalam hal stabilitas perekonomian
dunia.
Kepemimpinan Soeharto secara umum mempunyai karakteristik yang
berbeda dengan pendahulunya. Di paruh pertama kepemimpinannya, dia
cenderung adaptif dan
low profile.
Dan pada paruh terakhir kepemimpinannya,
sejak 1983, Soeharto mengubah gaya kepemimpinannya menjadi
high profile.
Gayanya tersebut mempengaruhi pilihan-pilihan politik luar negerinya, yang
pada kenyataannya tidak dapat dilepaskan dari kondisi politik-ekonomi
dan keamanan dalam negeri Indonesia, dengan nilai ingin menyejahterakan
bangsa, Soeharto mengambil gaya represif (di dalam negeri) dan akomodatif
(di luar negeri).
5. Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi
Orientasi politik luar negeri Indonesia di awal reformasi masih sangat
dipengaruhi oleh kondisi domestik akibat krisis multidimensi dan transisi
pemerintahan. Perhatian utama politik luar negeri Indonesia diarahkan pada
upaya pemulihan kembali kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia
serta memulihkan perekonomian nasional. Politik luar negeri Indonesia saat
itu lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan politik domestik daripada
politik internasional.
Pada masa awal reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden
B.J. Habibie, pemerintah Habibie disibukkan dengan usaha memperbaiki
citra Indonesia di kancah internasional yang sempat terpuruk sebagai dampak
218
Kelas XII SMA/MA
krisis ekonomi di akhir era Orde Baru dan kerusuhan pasca jajak pendapat
di Timor-Timur. Lewat usaha kerasnya, Presiden Habibie berhasil menarik
simpati dari Dana Moneter Internasional/
International
Monetary
Funds
(IMF) dan Bank Dunia untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi
krisis ekonomi. Presiden Habibie juga menunjukkan cara berdemokrasi yang
baik dengan memilih tidak mau dicalonkan lagi menjadi presiden setelah
pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR-RI.
Pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, hubungan RI
dengan negara-negara Barat mengalami sedikit masalah setelah lepasnya
Timor- Timur dari NKRI. Presiden Wahid memiliki cita-cita mengembalikan
citra Indonesia di mata internasional. Untuk itu beliau banyak melakukan
kunjungan kenegaraan ke luar negeri. Dalam setiap kunjungan luar negeri
yang ekstensif, selama masa pemerintahan yang singkat Presiden Wahid
secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam setiap pertemuannya
dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini,
selain isu Timor-Timur, adalah soal integritas tertorial Indonesia seperti kasus
Aceh, Papua dan isu perbaikan ekonomi.
Diplomasi di era pemerintahan Abdurahman Wahid dalam konteks
kepentingan nasional selain mencari dukungan pemulihan ekonomi,
rangkaian kunjungan ke mancanegara diarahkan pula pada upaya-upaya
menarik
dukungan
mengatasi
konflik
domestik,
mempertahankan
integritas
teritorial Indonesia, dan hal yang tak kalah penting adalah demokratisasi
melalui proses peran militer agar kembali ke peran profesional. Ancaman
terhadap disintegrasi nasional di era Presiden Wahid menjadi kepentingan
nasional yang sangat mendesak dan menjadi prioritas. Akan tetapi kebijakan
politiknya itu ternyata dinilai oleh beberapa kekuatan politik dalam negeri
sebagai kelemahan, terutama dalam menghadapi masalah disintegrasi dan
konflik-konflik
horizontal
yang terjadi di beberapa
daerah
Indonesia.
Faktor-
faktor semacam inilah yang menjadi salah satu penyebab pada awal tahun
2001, munculnya desakan dari DPR/MPR-RI agar Presiden Abdurrakhman
Wahid meletakkan jabatan selaku Presiden RI.
Setelah Presiden Abdurahman Wahid turun dari jabatannya, Megawati
dilantik menjadi Presiden perempuan pertama di Indonesia pada tanggal
23 Juli 2001. Pada awal pemerintahannya, suasana politik dan keamanan
dalam negeri menjadi agak lebih kondusif. Situasi ekonomi Indonesia
mulai membaik ditandai dengan nilai tukar rupiah yang stabil. Belajar dari
pemerintahan sebelumnya, Presiden Megawati lebih memerhatikan dan
memertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar negeri dan
diplomasi seperti diamanatkan dalam UUD 1945. Presiden Megawati juga
219
Sejarah Indonesia
lebih memprioritaskan
kunjungannya
mendatangi
wilayah-wilayah
konflik
di
tanah air seperti, Aceh, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Selatan atau Timor
Barat.
Pada era pemerintahan Megawati, disintegrasi nasional masih menjadi
ancaman bagi keutuhan teritorial. Selain itu, pada masa pemerintahan
Megawati juga terjadi serangkaian ledakan bom di tanah air. Sehingga dapat
dipahami, jika isu terorisme menjadi perhatian serius bagi pemerintahan
Megawati.
Pada Pemilihan Umum tahun 2004 yang merupakan pemilihan presiden
secara langsung oleh masyarakat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih
menjadi presiden mengalahkan Megawati. Ia dilantik menjadi presiden
Republik Indonesia ke-6 pada 20 Oktober 2004.
Selama era kepemimpinnya, SBY berhasil mengubah citra Indonesia
dan menarik banyak investasi asing dengan menjalin berbagai kerja sama
dengan banyak negara pada masa pemerintahannya. Perubahan-perubahan
global pun dijadikannya sebagai peluang. Politik luar negeri Indonesia di
masa pemerintahan SBY diumpamakan dengan istilah ‘mengarungi lautan
bergelombang’, bahkan ‘menjembatani dua karang’. Hal tersebut dapat dilihat
dengan berbagai inisiatif Indonesia untuk menjembatani pihak-pihak yang
sedang bermasalah. Indonesia berhubungan baik dengan negara manapun
sejauh memberikan manfaat bagi Indonesia.
Ciri politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan SBY, yaitu:
1.
Terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara
lain (Jepang, China, India, dll).
2.
Terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia terhadap perubahan-
perubahan domestik dan perubahan-perubahan yang terjadi di luar
negeri (internasional).
3. Bersifat pragmatis kreatif dan oportunis, artinya Indonesia mencoba
menjalin hubungan dengan siapa saja (baik negara, organisasi
internasional, ataupun perusahaan multinasional) yang bersedia
membantu Indonesia dan menguntungkan pihak Indonesia.
4.
Konsep TRUST, yaitu membangun kepercayaan terhadap dunia
internasional. Prinsip-prinsip dalam konsep TRUST adalah
unity,
harmony, security, leadership, prosperity
. Prinsip-prinsip dalam
konsep TRUST inilah yang menjadi sasaran politik luar negeri
Indonesia di tahun 2008 dan selanjutnya.
220
Kelas XII SMA/MA
TUGAS
1.
Jelaskan tentang landasan politik luar negeri Indonesia, dan apa yang
dimaksud dengan politik luar negeri bebas aktif!
2.
Jelaskan dasar pemikiran lahirnya kebijakan politik luar negeri bebas
aktif Indonesia!
3.
Jelaskan kaitan antara pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif
Indonesia dengan isi dari Pembukaan UUD 1945!
4.
“Konsep politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif merupakan
gambaran dan usaha Indonesia untuk membantu terwujudnya
perdamaian dunia”. Kaitkan pernyataan tersebut dengan kebijakan
politik luar negeri bebas aktif Indonesia pada masa Demokrasi
Parlementer. Lakukan analisis!
5.
Jelaskan dinamika arah politik luar negeri Indonesia pada masa
Demokrasi Terpimpin!
6.
Jelaskan peran serta Indonesia dalam upaya mewujudkan perdamaian
dunia, sebagai bentuk kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif,
pada masa Orde Baru!
7.
Buatlah perbandingan dalam hal penerapan kebijakan politik luar negeri
bebas aktif Indonesia yang dilakukan pada masa Presiden B.J. Habibie,
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan Susilo Bambang
Yudhoyono!
8.
Dalam konteks Perang Dingin pada masa kini sudah tidak ada lagi,
masihkah diperlukan kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif oleh
Indonesia? Mengapa? Buat analisis!
TUGAS
a.
Bagi peserta didik kedalam 6 kelompok
b.
Masing-masing kelompok mencari informasi tentang topik yang
berbeda. Topik tersebut adalah:
1.
Konferensi Asia Afrika (KAA)
2.
Gerakan Non Blok (GNB)
3.
Misi pemeliharaan Perdamaian Garuda
4.
ASEAN
5.
Organisasi Konferensi Islam (OKI)
6.
Deklarasi Djuanda
7.
Jakarta Informal Meeting
(JIM)
Informasi yang diperoleh akan dijadikan sumber untuk menulis makalah
kelompok pada pertemuan berikutnya.
221
Sejarah Indonesia
C. Peran Indonesia Dalam Upaya Menciptakan Perdamaian Dunia
1.
Pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955
Sumber: Bakosurtanal, 2011
Gambar 6.2 Kawasan negara peserta KAA
Berakhirnya Perang Dunia II pada Agustus 1945, tidak berarti berakhir
pula situasi permusuhan di antara bangsa-bangsa di dunia dan tercipta
perdamaian dan keamanan. Ternyata di beberapa bagian dunia, terutama
di belahan bumi Asia dan Afrika, masih ada masalah dan muncul masalah
baru yang mengakibatkan permusuhan yang terus berlangsung, bahkan pada
tingkat perang terbuka, seperti di wilayah Korea, Indochina, Palestina, Afrika
Selatan, dan Afrika Utara.
Masalah-masalah tersebut sebagian disebabkan oleh lahirnya dua blok
kekuatan yang bertentangan secara ideologi maupun kepentingan, yaitu Blok
Barat dan Blok Timur. Masing-masing Blok berusaha menarik negara-negara
Asia dan Afrika untuk menjadi pendukung mereka. Hal ini mengakibatkan
tetap hidupnya dan bahkan tumbuhnya suasana permusuhan yang terselubung
di antara dua Blok itu dan pendukungnya. Suasana permusuhan tersebut
dikenal dengan nama “Perang Dingin”.
Munculnya ketegangan dunia akibat dari adanya persaingan antara Blok
Barat dan Blok Timur sangat mengkhawatirkan sebagian negara-negara di
kawasan Asia dan Afrika yang pada akhir PD II sebagian besar baru memperoleh
kemerdekaannya. Adanya persaingan kedua blok tersebut, membuat negara-
negara Asia Afrika khawatir bahwa wilayah mereka akan dijadikan arena
persaingan dan perebutan pengaruh yang bisa menyebabkan ketidakstabilan
politik dan ekonomi di kawasan tersebut. Kekhawatiran mereka menjadi
kenyataan
dengan
munculnya
beberapa
konflik
di kawasan
Asia seperti Perang
Vietnam
dan Perang
Korea.
Dalam
dua konflik
tersebut,
pihak-pihak
internal
yang bersengketa
atau berkonflik
mendapatkan
dukungan
dari masing-masing
222
Kelas XII SMA/MA
blok. Korea Utara dan Vietnam Utara mendapatkan dukungan dari Blok Timur
(Uni Soviet), sedangkan pihak lawannya, Korea Selatan dan Vietnam Selatan
mendapatkan dukungan dari Blok Barat (AS). Dalam persaingan antara kedua
blok tersebut, keduanya memang tidak pernah berhadapan secara langsung
dalam perang terbuka.
Melihat fenomena seperti itu, beberapa pemimpin negara-negara Asia
Afrika yang baru merdeka, seperti Indonesia, India, Burma/Myanmar, Srilanka
dan Pakistan, berinisiatif untuk membuat pertemuan yang akan mendiskusikan
permasalahan-permasalahan dunia yang krusial pada saat itu. Keadaan itulah
yang melatarbelakangi lahirnya gagasan untuk mengadakan Konferensi Asia
Afrika.
Gagasan untuk mengadakan sebuah konferensi yang melibatkan negara-
negara Asia-Afrika diawali dari pertemuan di Kolombo yang digagas oleh
PM Srilangka Sir John Kotelawala. Pertemuan ini dikenal dengan Sidang
Panca Perdana Menteri yang dihadiri oleh para Perdana Menteri dari
Burma, Srilangka, India, Indonesia dan Pakistan. Munculnya gagasan untuk
mengadakan sidang ini didorong oleh kekhawatiran dan keprihatinan atas
situasi peperangan yang sedang berkecamuk di Indocina, dan perkembangan
perlombaan senjata nuklir antara dua blok.
Adanya undangan dari Srilangka tersebut disambut baik oleh Indonesia,
yang sejak bulan Juli 1953 pemerintahan Indonesia dipegang oleh Ali
Sastroamidjojo. Rencana pertemuan tersebut dinilai sebagai kesempatan yang
sangat baik untuk merealisasikan kebijakan politik luar negeri bebas aktif.
Kabinet Ali Sastroamidjojo dalam keterangannya di depan Parlemen
pada Agustus 1953 telah menegaskan, bahwa dalam usaha memperkokoh
perdamaian dunia perlu dirintis dan diorganisasi kerja sama antara negara-
negara Asia-Afrika terutama yang baru merdeka.
Sebelum berangkat PM Ali Sastroamidjodjo ke Kolombo, Menlu
Sunario dan para Dubes Indonesia di negara-negara Asia Afrika mengadakan
pertemuan di Tugu, Bogor. Pertemuan itu membahas rumusan-rumusan yang
akan menjadi bahan bagi PM Ali Sastroamidjojo untuk dibawa ke Kolombo,
sebagai dasar usul Indonesia untuk meluaskan gagasan kerja sama regional di
tingkat Asia-Afrika.
Sebelum berangkat ke Kolombo, PM Ali menemui Presiden Soekarno di
Istana Merdeka pada bulan April 1955. Dalam pertemuan tersebut, Presiden
Soekarno berpesan supaya dalam pertemuan Kolombo nanti, Indonesia
harus bisa memperjuangkan tekadnya untuk mengadakan sebuah konferensi
yang melibatkan banyak negara Asia-Afrika. “Ingat Ali, ini adalah cita-cita
223
Sejarah Indonesia
bersama; hampir 30 tahun yang lalu kita dalam pergerakan nasional melawan
penjajahan, kita sudah mendengungkan solidaritas Asia Afrika”, kata Presiden
Soekarno.
Pertemuan lima perdana menteri itu akhirnya berlangsung pada tanggal 28
April - 2 Mei 1954, Perdana Menteri Ceylon Srilangka (Sir Jhon Kotelawala),
Perdana Menteri Burma ( U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali
Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohamad Ali Jinah) melakukan pertemuan
informal di Kolombo. Pertemuan tersebut kemudian dinamakan Konferensi
Kolombo.
Pada awalnya pertemuan ini tidak memiliki agenda khusus dan hanya
“neighbours groups”
yang diadakan untuk mempererat hubungan antar
kepala negara. Namun pada saat pertemuan dilangsungkan, kondisi di Vietnam
mengalihkan hal tersebut. Lima kepala negara yang hadir lalu memfokuskan
perhatian pada kasus ini, terutama pada kemungkinan eskalasi perang yang
terjadi.
Adapun topik yang kemudian didiskusikan meliputi, kondisi Indocina,
bom hidrogen, kolonialisme dan nasonalisme serta komunisme internasional.
Gagasan Indonesia untuk mengadakan pertemuan negara-negara Asia-Afrika
akhirnya baru bisa disampaikan pada sidangnya yang ke-6 pada tanggal 30
April sore hari. PM Ali Sastroamidjojo berkesempatan mengajukan usulnya
supaya diadakan “suatu Konferensi yang sama hakekatnya dengan Konferensi
Kolombo, tapi lebih luas jangkauannya dengan tidak hanya memasukkan
negara-negara Asia tetapi juga negara-negara Afrika lainnya.
Hal yang menarik perhatian para peserta konferensi, di antaranya
pernyataan yang diajukan oleh Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo:
” Di mana sekarang kita berdiri, bangsa Asia sedang berada di tengah-
tengah persaingan dunia. Kita sekarang berada di persimpangan jalan
sejatah umat manusia. Oleh karena itu, kita Lima Perdana Menteri negara-
negara Asia bertemu di sini untuk membicarakan masalah-masalah
yang krusial yang sedang dihadapi oleh masyarakat yang kita wakili.
Ada beberapa hal yang mendorong Indonesia mengajukan usulan untuk
mengadakan pertemuan lain yang lebih luas, antara negara-negara Afrika
dan Asia. Saya percaya bahwa masalah-masalah itu tidak terjadi hanya di
negara-negara Asia yang terwakili di sini, tetapi juga sama pentingnya bagi
negara-negara Afrika dan Asia lainnya”. (Ali Sastroamidjojo, Tonggak-
tonggak di Perjalananku, Kinta, 1974)
224
Kelas XII SMA/MA
Pernyataan tersebut memberi arah kepada lahirnya Konferensi Asia
Afrika. Selanjutnya, soal perlunya Konferensi Asia Afrika diadakan, diajukan
pula oleh Indonesia dalam sidang berikutnya. Usul itu akhirnya diterima oleh
semua peserta konferensi, walaupun masih dalam suasana keraguan. Akhirnya,
dalam pernyataan bersama pada akhir Konferensi Kolombo, dinyatakan bahwa
para Perdana Menteri peserta konferensi membicarakan kehendak untuk
mengadakan konferensi negara-negara Asia dan Afrika dan menyetujui usul
agar Perdana Menteri Indonesia dapat menjajaki kemungkinan mengadakan
konferensi tersebut.
Konferensi Kolombo selanjutnya menugaskan Indonesia agar menjajaki
kemungkinan untuk diadakannya Konferensi Asia Afrika. Dalam rangka
menunaikan tugas itu Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan melalui
saluran diplomatik kepada 18 negara Asia dan Afrika. Maksudnya, untuk
mengetahui sejauh mana pendapat negara-negara tersebut terhadap ide
mengadakan Konferensi Asia Afrika. Dalam pendekatan tersebut dijelaskan
bahwa tujuan utama konferensi tersebut ialah untuk membicarakan kepentingan
bersama bangsa-bangsa Asia dan Afrika pada saat itu, mendorong terciptanya
perdamaian dunia, dan mempromosikan Indonesia sebagai tempat konferensi.
Ternyata pada umumnya negara-negara yang dihubungi menyambut baik ide
tersebut dan menyetujui Indonesia sebagai tuan rumahnya.
Atas undangan Perdana Menteri Indonesia, para Perdana Menteri
peserta Konferensi Kolombo (Birma, Srilangka, India, Indonesia, dan
Pakistan) mengadakan Konferensi di Bogor pada 28 dan 29 Desember
1954, yang dikenal dengan sebutan Konferensi Lima Negara. Konferensi ini
membicarakan persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika. Konferensi
Bogor berhasil merumuskan kesepakatan bahwa Konferensi Asia Afrika
diadakan atas penyelenggaraan bersama dan kelima negara peserta konferensi
tersebut menjadi negara sponsornya. Undangan kepada negara-negara peserta
disampaikan oleh Pemerintah Indonesia atas nama lima negara.
Negara-negara yang diundang disetujui berjumlah
25 negara, yaitu: Afganistan, Kamboja, Federasi
Afrika Tengah, Republik Rakyat Tiongkok (China),
Mesir, Ethiopia, Pantai Emas
(Gold Coast)
, Iran, Irak,
Jepang, Yordania, Laos, Libanon, Liberia, Libya,
Nepal, Filipina, Saudi Arabia, Sudan, Syria, Thailand
(Muangthai), Turki, Republik Demokrasi Vietnam
(Vietnam Utara), Vietnam Selatan, dan Yaman. Waktu
Konferensi ditetapkan pada minggu terakhir April
1955.
Sumber: Jamie Mackie, 2005
Gambar 6.3 Gedung
Merdeka
225
Sejarah Indonesia
Mengingat negara-negara yang akan diundang mempunyai politik luar
negeri serta sistem politik dan sosial yang berbeda-beda. Konferensi Bogor
menentukan bahwa penerima undangan untuk turut dalam konferensi Asia
Afrika tidak berarti bahwa negara peserta tersebut akan berubah atau dianggap
berubah pendiriannya mengenai status dari negara-negara lain. Konferensi
menjunjung tinggi pula asas bahwa bentuk pemerintahan atau cara hidup
sesuatu negara tidak akan dapat dicampuri oleh negara lain. Maksud utama
konferensi ialah supaya negara-negara peserta menjadi lebih saling mengetahui
pendirian mereka masing-masing.
Gedung Dana Pensiun dipersiapkan sebagai tempat sidang-sidang
Konferensi. Hotel Homann, Hotel Preanger, dan 12 (duabelas) hotel lainnya
serta perumahan perorangan dan pemerintah dipersiapkan pula sebagai
tempat menginap para tamu yang berjumlah 1.300 orang. Dalam kesempatan
memeriksa persiapan-persiapan terakhir di Bandung pada 17 April 1955,
Presiden RI Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung Concordia
menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi
Warna, dan sebagian Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika. Penggantian
nama tersebut dimaksudkan untuk lebih menyemarakkan konferensi dan
menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan tujuan konferensi.
Pada 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan
kepada Kepala Pemerintahan 25 negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara
yang diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi
Afrika Tengah
(Central African Federation)
, karena memang negara itu masih
dikuasai oleh orang-orang bekas penjajahnya. Sedangkan 24 negara lainnya
menerima baik undangan itu, meskipun pada mulanya ada negara yang masih
ragu-ragu. Sebagian besar delegasi peserta konferensi tiba di Bandung lewat
Jakarta pada 16 April 1955.
Pada tanggal 18 April 1955 Konferensi Asia Afrika dilaksanakan di
Gedung Merdeka Bandung. Konferensi dimulai pada pukul 09.00 WIB dengan
pidato pembukaan oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno. Sidang-
sidang selanjutnya dipimpin oleh Ketua Konferensi Perdana Menteri RI Ali
Sastroamidjojo.
Konferensi Asia Afrika di Bandung melahirkan suatu kesepakatan bersama
yang merupakan pokok-pokok tindakan dalam usaha menciptakan perdamian
dunia. Ada sepuluh pokok yang dicetuskan dalam konferensi tersebut, maka
itu disebut Dasasila.
226
Kelas XII SMA/MA
Dasasila Bandung
1.
Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan,
serta asas-asas kemanusiaan yang termuat dalam Piagam
PBB.
2.
Menghormati kedaulatan
dan integritas teritorial semua
bangsa.
3.
Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan
persamaan semua bangsa besar maupun kecil.
4.
Tidak melakukan campur tangan dalam soal-soal dalam
negara lain.
5.
Menghormati hak-hak tiap bangsa untuk mempertahankan
diri secara sendirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan
Piagam PBB.
6.
Tidak melakukan tekanan terhadap negara-negara lain.
7.
Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi
terhadap integritas teritorial dan kemerdekaan negara lain.
8.
Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan
jalan damai seperti perundingan, persetujuan, dan lain-lain
yang sesuai dengan Piagam PBB.
9.
Memajukan kerja sama untuk kepentingan bersama.
10.
Menghormati
hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.
Dalam penutup komunike terakhir dinyatakan bahwa Konferensi Asia
Afrika menganjurkan supaya kelima negara penyelenggara mempertimbangkan
untuk diadakan pertemuan berikutnya dari konferensi ini, dengan meminta
pendapat negara-negara peserta lainnya. Tetapi usaha untuk mengadakan
Konferensi Asia Afrika kedua selalu mengalami hambatan yang sulit diatasi.
Tatkala usaha itu hampir terwujud (1964), tiba-tiba di negara tuan rumah
(Aljazair) terjadi pergantian pemerintahan, sehingga konferensi itu dibatalkan.
Konferensi Asia Afrika di Bandung, telah berhasil menggalang persatuan
dan kerja sama di antara negara-negara Asia dan Afrika, baik dalam menghadapi
masalah internasional maupun masalah regional. Konferensi serupa bagi
227
Sejarah Indonesia
kalangan tertentu di Asia dan Afrika beberapa kali diadakan pula, seperti
Konferensi Wartawan Asia Afrika, Konferensi Islam Asia Afrika, Konferensi
Pengarang Asia Afrika, dan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika.
Konferensi Asia Afrika telah membakar semangat dan menambah kekuatan
moral para pejuang bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang pada masa itu tengah
memperjuangkan kemerdekaan tanah air mereka, sehingga kemudian lahirlah
sejumlah negara merdeka di Benua Asia dan Afrika. Semua itu menandakan
bahwa cita-cita dan semangat Dasa Sila Bandung semakin merasuk ke dalam
tubuh bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Jiwa Bandung dengan Dasasilanya
telah mengubah pandangan dunia tentang hubungan internasional. Bandung
telah melahirkan paham Dunia Ketiga atau
“Non-Aligned”
terhadap dunia
pertamanya Washington dan dunia keduanya Moscow.
Dengan diselenggarakannya KAA di Bandung, kota Bandung menjadi
terkenal di seluruh dunia. Semangat perdamaian yang dicetuskan di Kota
Bandung dijuluki “Semangat Bandung” atau
“Bandung Spirit”
. Untuk
mengabadikan peristiwa sejarah yang penting itu jalan protokol di Kota
Bandung yang terbentang di depan Gedung Merdeka diberi nama Jalan Asia
Afrika.
Perhatikan foto di bawah ini, siapa saja yang ada dalam foto tersebut?
Sumber: Jamie Mackie, 2005
Gambar 6.4 Soekarno, M. Hatta, dan Tokoh KAA
228
Kelas XII SMA/MA
Sumber: Jamie Mackie, 2005
Gambar 6.5 Presiden Soekarno membuka KAA 1955
2.
Gerakan Non-Blok/
Non Align Movement
(NAM)
Gerakan Non-Blok (GNB) atau
Non Align Movement
(NAM) adalah suatu
gerakan yang dipelopori oleh negara-negara dunia ketiga yang beranggotakan
lebih dari 100 negara-negara yang berusaha menjalankan kebijakan luar
negeri yang tidak memihak dan tidak menganggap dirinya beraliansi dengan
Blok Barat atau Blok Timur. Gerakan Non Blok merepresentasikan 55 persen
penduduk dunia dan hampir 2/3 keanggotaan PBB. Mayoritas negara-negara
anggota GNB adalah negara-negara yang baru memperoleh kemerdekaan
setelah
berakhirnya
Perang
Dunia II, dan secara geografis
berada
di benua
Asia, Afrika dan Amerika Latin.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, tepatnya di era 1950-an negara–
negara di dunia terpolarisasi dalam dua blok, yaitu Blok Barat di bawah
pimpinan Amerika Serikat dan Blok Timur di bawah pimpinan Uni Soviet.
Pada saat itu terjadi pertarungan yang sangat kuat antara Blok Barat dan
Blok Timur, era ini dikenal sebagai era Perang Dingin (
Cold War
) yang
berlangsung sejak berakhirnya PD II hingga runtuhnya Uni Soviet pada tahun
1989. Pertarungan antara Blok Barat dan Blok Timur merupakan upaya untuk
memperluas
sphere of interest
dan
sphere
of influence
. Dengan sasaran utama
perebutan penguasaan atas wilayah-wilayah potensial di seluruh dunia.
Dalam pertarungan perebutan pengaruh ini, negara-negara dunia ketiga
(di Asia, Afrika, Amerika Latin) yang mayoritas sebagai negara yang baru
merdeka dilihat sebagai wilayah yang sangat menarik bagi kedua blok untuk
menyebarkan pengaruhnya. Akibat persaingan kedua blok tersebut, muncul
beberapa
konflik
terutama
di Asia, seperti Perang
Korea,
dan Perang
Vietnam.
229
Sejarah Indonesia
Dalam kondisi seperti ini, muncul kesadaran yang kuat dari para pemimpin
dunia ketiga saat itu untuk tidak terseret dalam persaingan antara kedua blok
tersebut.
Indonesia dapat dikatakan memiliki peran yang sangat penting dalam
proses kelahiran organisasi ini. Lahirnya organisasi Gerakan Non Blok
dilatarbelakangi oleh kekhawatiran para pemimpin negara-negara dunia ketiga
terutama dari Asia dan Afrika terhadap munculnya ketegangan dunia saat itu
karena adanya persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur.
KAA di Bandung merupakan proses awal lahirnya GNB. Tujuan KAA
adalah
mengidentifikasi
dan mendalami
masalah-masalah
dunia waktu
itu
dan berusaha memformulasikan kebijakan bersama negara-negara yang baru
merdeka tersebut pada tataran hubungan internasional. Sejak saat itu proses
pendirian GNB semakin mendekati kenyataan, tokoh-tokoh yang memegang
peran kunci sejak awal adalah Presiden Mesir Ghamal Abdul Naser, Presiden
Ghana Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden
Indonesia Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Josep Broz Tito. Kelima tokoh
ini kemudian dikenal sebagai para pendiri GNB.
Adanya ketegangan dunia yang semakin meningkat akibat persaingan
antara Blok Barat dan Blok Timur, yang dimulai dari pecahnya perang Vietnam,
perang Korea dan puncaknya krisis Teluk Babi di Kuba, yang hampir saja
memicu Perang Dunia III mendorong para pemimpin negara-negara Dunia
Sumber: Deppen, 1975
Gambar 6.6 Presiden Soekarno sedang berpidato pada
KTT GNB I di Beograd
230
Kelas XII SMA/MA
Ketiga untuk membentuk sebuah organisasi yang diharapkan bisa berperan
mengurangi ketegangan politik dunia internasional saat itu.
Pembentukan organisasi Gerakan Non Blok dicanangkan dalam
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I di Beograd, Yugoslavia 16 September
1961 yang dihadiri oleh 25 negara dari Asia dan Afrika. Dalam KTT I tersebut,
negara-negara pendiri GNB berketetapan untuk mendirikan suatu gerakan
dan bukan suatu organisasi untuk menghindarkan diri dari implikasi birokratik
dalam membangun upaya kerja sama di antara mereka. Pada KTT I ini juga
ditegaskan bahwa GNB tidak diarahkan pada suatu peran pasif dalam politik
internasional, tetapi untuk memformulasikan posisi sendiri secara independen
yang merefleksikan kepentingan negara-negara anggotanya.
GNB menempati posisi khusus dalam politik luar negeri Indonesia karena
Indonesia sejak awal memiliki peran sentral dalam pendirian GNB. KAA
tahun 1955 yang diselenggararakan di Bandung dan menghasilkan Dasa Sila
Bandung yang menjadi prinsip-prinsip utama GNB, merupakan bukti peran
dan kontribusi penting Indonesia dalam mengawali pendirian GNB. Tujuan
GNB mencakup dua hal, yaitu tujuan ke dalam dan ke luar. Tujuan ke dalam
yaitu mengusahakan kemajuan dan pengembangan ekonomi, sosial, dan
politik yang jauh tertinggal dari negara maju. Tujuan ke luar, yaitu berusaha
meredakan ketegangan antara Blok Barat dan Blok Timur menuju perdamaian
dan keamanan dunia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, negara-negara
Non Blok menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT). Pokok
pembicaraan utama adalah membahas persoalan-persoalan yang berhubungan
dengan tujuan Non Blok dan ikut mencari solusi terbaik terhadap peristiwa-
peristiwa internasional yang membahayakan perdamaian dan keamanan dunia.
Dalam perjalanan sejarahnya sejak KTT I di Beograd tahun 1961, Gerakan
Non Blok telah 16 kali menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi, yang
terakhir KTT XVI yang berlangsung di Teheran pada Agustus 2012. Indonesia
sebagai salah satu pendiri GNB pernah menjadi tuan rumah penyelenggaraan
KTT GNB yang ke X pada tahun 1992. KTT X ini diselenggarakan di
Jakarta, Indonesia pada 1 September 1992 – 7 September 1992, dipimpin oleh
Soeharto. KTT ini menghasilkan “Pesan Jakarta” yang mengungkapkan sikap
GNB tentang berbagai masalah, seperti hak asasi manusia, demokrasi dan
kerja sama Utara Selatan dalam era pasca Perang Dingin.
KTT ini dihadiri oleh lebih dari 140 delegasi, 64 Kepala Negara. KTT ini
juga dihadiri oleh Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali.
231
Sejarah Indonesia
3. Misi Pemeliharaan Perdamaian Garuda
Sumber: Deppen, 1975
Gambar 6.7 Pelepasan Misi Garuda I Oleh Presiden Soekarno
Dalam rangka ikut mewujudkan perdamaian dunia, maka Indonesia
memainkan sejumlah peran dalam percaturan internasional. Peran yang cukup
menonjol yang dimainkan oleh Indonesia adalah dalam rangka membantu
mewujudkan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Dalam
hal ini Indonesia sudah cukup banyak mengirimkan Kontingen Garuda
(KONGA) ke luar negeri. Sampai tahun 2014 Indonesia telah mengirimkan
kontingen Garudanya sampai dengan kontingen Garuda yang ke duapuluh
tiga (XXIII).
Pengiriman Misi Garuda yang pertama kali dilakukan pada bulan Januari
1957. Pengiriman
Misi Garuda
dilatarbelakangi
adanya
konflik
di Timur
Tengah terkait masalah nasionalisasi Terusan Suez yang dilakukan oleh
Presiden Mesir Ghamal Abdul Nasser pada 26 Juli 1956. Sebagai akibatnya,
pertikaian menjadi meluas dan melibatkan negara-negara di luar kawasan
tersebut yang berkepentingan dalam masalah Suez. Pada bulan Oktober 1956,
Inggris, Prancis dan Israel melancarkan serangan gabungan terhadap Mesir.
Situasi ini mengancam perdamaian dunia sehingga Dewan Keamanan PBB
turun tangan dan mendesak pihak-pihak yang bersengketa untuk berunding.
Dalam Sidang Umum PBB Menteri Luar Negeri Kanada Lester B. Pearson
mengusulkan agar dibentuk suatu pasukan PBB untuk memelihara perdamaian
di Timur Tengah. Usul ini disetujui Sidang dan pada tanggal 5 November 1956
Sekjen. PBB membentuk sebuah komando PBB dengan nama
United Nations
Emergency Forces
(UNEF). Pada tanggal 8 November Indonesia menyatakan
kesediannya untuk turut serta menyumbangkan pasukan dalam UNEF.
Sebagai pelaksanaanya, pada 28 Desember 1956, dibentuk sebuah pasukan
yang berkuatan satu detasemen (550 orang) yang terdiri dari kesatuan-kesatuan
Teritorium IV/Diponegoro dan Teritorium V/Brawijaya. Kontingen Indonesia
untuk UNEF yang diberi nama Pasukan Garuda ini diberangkatkan ke Timur
Tengah pada bulan Januari 1957.
232
Kelas XII SMA/MA
Untuk kedua kalinya Indonesia mengirimkan kontingen untuk
diperbantukan kepada
United Nations Operations for the Congo
(UNOC)
sebanyak
satu batalyon.
Pengiriman
pasukan
ini terkait munculnya
konflik
di
Kongo (Zaire sekarang).
Konflik
ini muncul
berhubungan
dengan
kemerdekaan
Zaire pada bulan Juni 1960 dari Belgia yang justru memicu pecahnya perang
saudara. Untuk mencegah pertumpahan darah yang lebih banyak, maka PBB
membentuk Pasukan Perdamaian untuk Kongo, UNOC. Pasukan kali ini di
sebut “Garuda II” yang terdiri atas Batalyon 330/Siliwangi, Detasemen Polisi
Militer, dan Peleton KKO Angkatan Laut. Pasukan Garuda II berangkat dari
Jakarta tanggal 10 September 1960 dan menyelesaikan tugasnya pada bulan
Mei 1961. Tugas pasukan Garuda II di Kongo kemudian digantikan oleh
pasukan Garuda III yang bertugas dari bulan Desember 1962 sampai bulan
Agustus 1964.
Peran aktif Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia terus berlanjut,
ketika meletus perang saudara antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan.
Indonesia kembali diberikan kepercayaan oleh PBB untuk mengirim
pasukannya sebagai pasukan pemelihara perdamaian PBB. Untuk menjaga
stabilitas politik di kawasan Indocina yang terus bergolak akibat perang
saudara tersebut, PBB membentuk
International Commission of Control and
Supervision
(ICCS) sebagai hasil dari persetujuan internasional di Paris pada
tahun 1973. Komisi ini terdiri atas empat negara, yaitu Hungaria, Indonesia,
Kanada dan Polandia. Tugas ICCS adalah mengawasi pelanggaran yang
dilakukan kedua belah pihak yang bertikai.
Pasukan perdamaian Indonesia yang dikirim ke Vietnam disebut sebagai
Pasukan Garuda IV yang berkekuatan 290 pasukan, bertugas di Vietnam dari
bulan Januari 1973, untuk kemudian diganti dengan Pasukan Garuda V, dan
kemudian pasukan Garuda VII. Pada tahun 1975 Pasukan Garuda VII ditarik
dari Vietnam karena seluruh Vietnam jatuh ke tangan
Vietcong
(Vietnam Utara
yang komunis).
Pada 1973, ketika pecah perang Arab-Israel ke-4, UNEF diaktifkan lagi
dengan kurang lebih 7000 anggota yang terdiri atas kesatuan-kesatuan Australia,
Finlandia, Swedia, Irlandia, Peru, Panama, Senegal, Ghana dan Indonesia.
Kontingen Indonesia semula berfungsi sebagai pasukan pengamanan dalam
perundingan antara Mesir dan Israel. Tugas pasukan Garuda VI berakhir 23
September 1974 untuk digantikan dengan Pasukan Garuda VIII yang bertugas
hingga tanggal 17 Februari 1975. Selanjutnya Indonesia terus ikut berperan
aktif dalam menjaga perdamaian dunia dengan aktif mengirim pasukan
perdamaian ke berbagai wilayah konflik di seluruh dunia.
233
Sejarah Indonesia
Sejak tahun 1975 hingga kini dapat dicatat peran Indonesia dalam
memelihara perdamaian dunia semakin berperan aktif, ditandai dengan
didirikannya
Indonesian Peace Security Centre
(IPSC/Pusat Perdamaian dan
Keamanan Indonesia) pada tahun 2012, yang didalamnya terdapat unit yang
mengelola kesiapan pasukan yang akan dikirim untuk menjaga perdamaian
dunia (
Standby Force
).
4. ASEAN
Sumber: http/ymun.yira.org
Gambar 6.8 Foto Bendera Negara-negara Anggota ASEAN
Sumber: Deppen, 1975
Gambar 6.9 Foto Suasana Penandatanganan Deklarasi Pembentukan ASEAN di Bangkok
Mengamati Lingkungan
234
Kelas XII SMA/MA
Menurut Deklarasi Bangkok, Tujuan ASEAN adalah:
1.
Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan
perkembangan kebudayaan di Asia Tenggara.
2.
Memajukan stabilisasi dan perdamaian regional Asia Tenggara.
3.
Memajukan kerja sama aktif dan saling membantu di negara-
negara anggota dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, teknik,
ilmu pengetahuan dan administrasi.
4.
Menyediakan bantuan satu sama lain dalam bentuk fasilitas-
fasilitas
latihan dan penelitian.
5.
Kerja sama yang lebih besar dalam bidang pertanian, industri,
perdagangan, pengangkutan, komunikasi serta usaha peningkatan
standar kehidupan rakyatnya.
6.
Memajukan studi-studi masalah Asia Tenggara.
7.
Memelihara dan meningkatkan kerja sama yang bermanfaat
dengan organisasi-organisasi regional dan internasional yang
ada.
a. Pembentukan ASEAN
Menjelang berakhirnya konfrontasi Indonesia-Malaysia, beberapa
pemimpin bangsa-bangsa Asia Tenggara semakin merasakan perlunya
membentuk suatu kerja sama regional untuk memperkuat kedudukan
dan kestabilan sosial ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Pada tanggal
5-8 Agustus di Bangkok dilangsungkan pertemuan antarmenteri luar
negeri dari lima negara, yakni Adam Malik (Indonesia), Tun Abdul
Razak (Malaysia), S. Rajaratnam (Singapura), Narsisco Ramos (Filipina)
dan tuan rumah Thanat Khoman (Thailand). Pada 8 Agustus 1967 para
menteri luar negeri tersebut menandatangani suatu deklarasi yang dikenal
sebagai
Bangkok Declaration
. Deklarasi tersebut merupakan persetujuan
kesatuan tekad kelima negara tersebut untuk membentuk suatu organisasi
kerja sama regional yang disebut
Association of South East Asian Nations
(ASEAN).
Memahami Teks
235
Sejarah Indonesia
Dari tujuh pasal Deklarasi Bangkok itu jelas, bahwa ASEAN merupakan
organisasi kerja sama negara-negara Asia Tenggara yang bersifat non
politik dan non militer. Keterlibatan Indonesia dalam ASEAN bukan
merupakan suatu penyimpangan dari kebijakan politik bebas aktif,
karena ASEAN bukanlah suatu pakta militer seperti SEATO misalnya.
ASEAN sangat selaras dengan tujuan politik luar negeri Indonesia yang
mengutamakan pembangunan ekonomi dalam negeri, karena terbentuknya
ASEAN adalah untuk mempercepat pembangunan ekonomi, stabilitas
sosial budaya, dan kesatuan regional melalui usaha dengan semangat
tanggungjawab bersama dan persahabatan yang akan menjamin bebasnya
kemerdekaan negara-negara anggotanya.
Kerja sama dalam bidang ekonomi juga merupakan pilihan bersama para
anggota ASEAN. Hal itu disadari karena negara-negara ASEAN pada
saat itu adalah negara-negara yang menginginkan pertumbuhan ekonomi.
Meskipun demikian kerja sama dalam bidang lain seperti bidang politik
dan militer tidak diabaikan. Indonesia dan Malaysia misalnya melakukan
kerja sama militer untuk meredam bahaya komunis di perbatasan kedua
negara di Kalimantan. Malaysia dan Thailand melakukan kerja sama
militer di daerah perbatasannya untuk meredam bahaya komunis. Akan
tetapi Deklarasi Bangkok dengan tegas menyebutkan bahwa pangkalan
militer asing yang berada di negara anggota ASEAN hanya bersifat
sementara dan keberadaannya atas persetujuan negara yang bersangkutan.
Pada masa-masa awal berdirinya ASEAN telah mendapat berbagai
tantangan yang muncul dari masalah-masalah negara anggotanya sendiri.
Seperti masalah antara Malaysia dan Filipina menyangkut Sabah, sebuah
wilayah di Borneo/Kalimantan Utara. Kemudian persoalan hukuman mati
dua orang anggota marinir Indonesia di Singapura, kerusuhan rasialis
di Malaysia, dan permasalahan minoritas muslim di Thailand Selatan.
Akan tetapi, semua pihak yang terlibat dalam permasalahan-permasalahan
tersebut
dapat meredam
potensi
konflik
yang muncul
sehingga
stabilitas
kawasan dapat dipertahankan.
Aktivitas ASEAN dalam bidang politik yang menonjol adalah dengan
dikeluarkannya
Kuala Lumpur Declaration
pada 27 November 1971.
Deklarasi tersebut merupakan pernyataan kelima menteri Luar Negeri
ASEAN yang menyatakan bahwa Asia Tenggara merupakan
zone of
peace, freedom and neutrality
(ZOPFAN)/Zona Bebas Netral, bebas
dari segala campur tangan pihak luar. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi
ASEAN yang pertama di Bali pada 1976 masalah kawasan Asia Tenggara
236
Kelas XII SMA/MA
sebagai wilayah damai, bebas dan netral telah berhasil dicantumkan dalam
“Deklarasi Kesepakatan ASEAN” dan diterima sebagai program kegiatan
kerangka kerja sama ASEAN.
Selain menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul dari negara-
negara
anggotanya
sendiri,
seperti
potensi
konflik
yang telah dijelaskan
sebelumnya. Tantangan ASEAN pada awal berdirinya adalah masalah
keraguan dari beberapa negara-negara anggotanya sendiri. Singapura
misalnya, menampakkan sikap kurang antusias terhadap ASEAN,
sementara Filipina dan Thailand meragukan efektivitas ASEAN dalam
melakukan kerja sama kawasan. Hanya Indonesia dan Malaysia yang
menunjukkan sikap serius dan optimis terhadap keberhasilan ASEAN
sejak organisasi tersebut didirikan.
Keraguan beberapa negara anggota ASEAN sendiri dapat dimaklumi
karena pada masa 1969-1974 dapat dikatakan sebagai tahap konsolidasi
ASEAN. Pada tahap tersebut secara perlahan rasa solidaritas ASEAN
terus menebal dan hal itu menumbuhkan keyakinan bahwa lemah dan
kuatnya ASEAN tergantung partisipasi negara-negara anggotanya. Pada
perjalanan selanjutnya ASEAN mulai menunjukkan sebagai kekuatan
ekonomi
yang mendapat
tempat
di wilayah
Pasifik
dan kelompok
ekonomi
lainnya di dunia seperti Masyarakat Ekonomi Eropa dan Jepang.
Bidang sosial dan budaya pun menjadi perhatian ASEAN, melalui berbagai
aktivitas budaya diupayakan untuk memasyarakatkan ASEAN terutama
untuk kalangan remaja, seniman, cendikiawan dan berbagai kelompok
masyarakat lainnya di negara-negara anggota. Untuk itu, ASEAN pada
1972 telah membentuk suatu Panitia Tetap Sosial-Budaya.
Perkembangan organisasi ASEAN semakin menunjukkan perkembangan
yang positif setelah dalam KTT pertama di Bali pada 1976 dibentuk
Sekretariat Tetap ASEAN yang berkedudukan di Jakarta. Pada sidang
tahunan Menteri Luar Negeri ASEAN di Manila tanggal 7 Juni 1976,
H.R. Dharsono (Sekretaris Jenderal Nasional ASEAN Indonesia) ditunjuk
sebagai Sekretaris Jenderal ASEAN yang pertama.
Pada KTT ASEAN di Bali tahun 1977 telah memperkuat Deklarasi Kuala
Lumpur dan telah berhasil menetapkan prinsip-prinsip program kerja
dalam usaha bersama untuk menciptakan stabilitas politik, memperat kerja
sama ekonomi, sosial dan budaya. KTT Bali telah berhasil menetapkan
cara-cara yang lebih konkret dan terperinci dan usaha-usaha kerja
sama regional ASEAN. Tindak lanjut dari KTT di Bali tersebut adalah
dilakukannya sidang menteri-menteri ekonomi ASEAN di Kuala Lumpur
237
Sejarah Indonesia
pada 8-9 Maret 1977 untuk melaksanakan keputusan-keputusan KTT
ASEAN di bidang kerja sama ekonomi. Dalam sidang menteri-menteri
ekonomi tersebut disetujui asas saling membantu antarnegara ASEAN
dalam bidang pangan dan energi, terutama dalam soal pengadaan dan
produksinya.
Secara konkret masing-masing negara ASEAN membangun lima buah
proyek bersama. Kerja sama yang dimaksud adalah koordinasi antara
satu dengan lainnya. Dalam bidang perdagangan telah disepakati untuk
mengambil langkah-langkah bersama guna mengadakan dialog dengan
negara-negara Australia, Kanada, Amerika Serikat, Jepang, negara-negara
Timur Tengah, Eropa Timur, Masyarakat Ekonomi Eropa dan berbagai
kelompok negara lainnya.
Kerja sama antar negara-negara di kawasan Asia Tenggara merupakan
suatu upaya konkret Indonesia untuk menciptakan stabilitas kawasan.
Indonesia menyadari kenyataan bahwa kerja sama regional itu tidak
akan berhasil meningkatkan kemakmuran nasional dan regional bangsa-
bangsa di Asia Tenggara dengan sebaik-baiknya, jika tidak ada keamanan
dan stabilitas di kawasan tersebut. Itulah sebabnya Indonesia senantiasa
berusaha membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk mencari
penyelesaian dalam masalah Indocina. Indonesia berpendapat bahwa
penyelesaian Indocina secara keseluruhan dan Vietnam khususnya sangat
penting artinya dalam rangka memelihara keamanan dan menciptakan
stabilitas di Asia Tenggara.
Indonesia berpandangan bahwa negara-negara di Asia Tenggara paling
berkepentingan dan bertanggungjawab terhadap pemeliharaan keamanan
di kawasannya. Oleh karena itu, bangsa-bangsa di Asia Tenggara harus
mencegah dan menghalau setiap campur tangan asing yang negatif dalam
segala bentuk dan manifestasinya.
Pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia bisa dikatakan adalah
pemimpin ASEAN, kebijakan-kebijakan ekonomi ASEAN sangat
tergantung dari cara Indonesia bersikap. Peran sebagai pemimpin ASEAN
sempat memudar saat terjadi krisis ekonomi karena Indonesia sedang
mengalami masalah ekonomi dalam negeri dan situasi politik yang belum
stabil dalam rangka menuju demokratisasi. Indonesia kembali berperan di
era pemerintahan Presiden SBY, melalui momentum terpilihnya Indonesia
sebagai Ketua ASEAN pada tahun 2011. Indonesia mulai mengarahkan
ASEAN untuk mencapai suatu komunitas ekonomi yang kokoh di tahun
2015. Indonesia mengarahkan capaian implementasi Piagam ASEAN dan
Cetak Biru Komunitas ASEAN 2015.
238
Kelas XII SMA/MA
b. Pembentukan Komunitas ASEAN
Setelah berakhirnya Perang Dingin pada dekade 80-an, isu-isu ideologi
yang mengungkung dunia dan demikian halnya dengan ASEAN mulai
tersingkirkan, dan kerja sama kawasan semakin intensif dan menyeluruh
dalam berbagai bidang. Dalam upaya menempa integrasi dan kerja sama
yang lebih kuat di antara negara-negara anggota. ASEAN bersepakat untuk
mengembangkan suatu kawasan yang terintegrasi dengan membentuk
suatu komunitas negara-negara Asia Tenggara yang terbuka, damai, stabil
dan sejahtera, saling peduli, dan diikat bersama dalam kemitraan yang
dinamis di tahun 2020. Harapan tersebut dituangkan dalam Visi ASEAN
2020 yang ditetapkan oleh para Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN
pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Kuala Lumpur tanggal
15 Desember 1997. Selanjutnya, untuk merealisasikan harapan tersebut,
ASEAN mengesahkan
Bali Concord II
pada KTT ASEAN ke-9 di Bali
tahun 2003 yang menyepakati pembentukan Komunitas ASEAN
(ASEAN
Community).
Komunitas ASEAN terdiri atas 3 (tiga) pilar, yaitu Komunitas Politik-
Keamanan ASEAN
(ASEAN Political-Security Community/APSC)
,
Komunitas Ekonomi ASEAN
(ASEAN Economic Community/AEC)
,
Komunitas Sosial Budaya ASEAN
(ASEAN Socio-Cultural Community/
ASCC)
. Indonesia menjadi penggagas pembentukan Komunitas Politik
dan Keamanan ASEAN serta memainkan peran penting dalam perumusan
dua pilar lainnya.
Pada KTT ASEAN ke-10 di Vientiane, Laos, tahun 2004, konsep
Komunitas ASEAN mengalami kemajuan dengan disetujuinya tiga
Rencana Aksi
(Plan of Action/PoA)
untuk masing-masing pilar yang
merupakan program jangka panjang untuk merealisasikan pembentukan
Komunitas ASEAN. KTT tersebut juga mengintegrasikan ketiga Rencana
Aksi Komunitas ASEAN ke dalam
Vientiane Action Programme
(
VAP
)
sebagai landasan program jangka pendek–menengah untuk periode 2004–
2010.
Upaya kesepakatan pembentukan Komunitas ASEAN semakin kuat
dengan ditandatanganinya Deklarasi Cebu mengenai Percepatan
Pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun 2015
(Cebu Declaration
on the Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by
2015)
oleh para Pemimpin ASEAN pada KTT ke-12 ASEAN di Cebu,
Filipina, tanggal 13 Januari 2007. Dengan ditandatanganinya Deklarasi
tersebut, para Pemimpin ASEAN menyepakati percepatan pembentukan
Komunitas ASEAN dari tahun 2020 menjadi tahun 2015.
239
Sejarah Indonesia
Seiring dengan upaya perwujudan Komunitas ASEAN, ASEAN juga
menyepakati untuk menyusun semacam konstitusi yang akan menjadi
landasan dalam penguatan kerja sama. Dalam kaitan ini, proses penyusunan
Piagam ASEAN dimulai sejak tahun 2006 melalui pembentukan Kelompok
Ahli
(Eminent Persons Group/EPG)
dan kemudian dilanjutkan oleh
Gugus Tugas Tingkat Tinggi
(High Level Task Force)
untuk melakukan
negosiasi terhadap draf Piagam ASEAN.
Pada usia ke-40 tahun ASEAN, para Kepala Negara/Pemerintahan
ASEAN pada KTT ke-13 ASEAN di Singapura bulan November 2007
telah menandatangani Piagam ASEAN
(ASEAN Charter)
yang mengubah
ASEAN dari organisasi yang longgar
(loose association)
menjadi
organisasi yang berdasarkan hukum
(rules-based organization)
dan
menjadi subjek hukum
(legal personality)
.
Piagam ASEAN mulai diberlakukan pada tanggal 15 Desember 2008
setelah
semua
negara
anggota
ASEAN
menyampaikan
ratifikasi
kepada
Sekretaris Jenderal ASEAN. Peresmian mulai berlakunya Piagam
ASEAN tersebut dilakukan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
di Sekretariat ASEAN. Untuk Indonesia, pemberlakuan Piagam ASEAN
ini disahkan melalui Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2008 tentang
Pengesahan Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara
(Charter of The Association of Southeast Asian Nations)
. Implementasi
Piagam ASEAN mulai ditegaskan pada KTT ASEAN ke-14 di Hua Hin,
Thailand, pada tanggal 28 Februari–1 Maret 2009.
Piagam ASEAN adalah dokumen ASEAN yang mengubah ASEAN dari
sebuah asosiasi yang longgar menjadi sebuah organisasi internasional
yang memiliki dasar hukum yang kuat, dengan aturan yang jelas, serta
memiliki
struktur
organisasi
yang efektif
dan efisien.
Piagam
ASEAN
ditandatangani pada KTT ke-13 ASEAN pada tanggal 20 November
2007 di Singapura oleh 10 Kepala Negara/Pemerintahan Negara Anggota
ASEAN.
Piagam ASEAN mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 15 Desember
2008 setelah semua negara anggota ASEAN menyampaikan dokumen
pemberitahuan pengesahan ke Sekretariat ASEAN. Dalam hal itu,
Indonesia mengesahkan Piagam ASEAN melalui UU No. 38 Tahun 2008.
Piagam ASEAN memuat prinsip-prinsip yang tertuang dalam semua
perjanjian, deklarasi, dan kesepakatan ASEAN.
Piagam ASEAN berguna dalam memberikan kerangka kerja hukum
dan kelembagaan bagi ASEAN. Kedua hal tersebut memperkuat ikatan
kesetiakawanan kawasan untuk mewujudkan Komunitas ASEAN yang
240
Kelas XII SMA/MA
terpadu secara politis, terintegrasi secara ekonomis, dan dapat bertanggung
jawab secara sosial dalam rangka menjawab tantangan dan peluang saat
ini dan saat mendatang secara efektif.
Dalam Piagam ASEAN tersebut tercantum ketetapan ASEAN untuk
membentuk komunitas ASEAN tahun 2015. Komunitas ASEAN tersebut
terdiri atas 3, pilar yaitu Komunitas Politik Keamanan ASEAN, Komunitas
Ekonomi ASEAN, dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN.
Komunitas ASEAN adalah wadah untuk lebih mempererat integrasi
masyarakat ASEAN dan untuk menyesuaikan cara pandang keterbukaan
dalam menyikapi perkembangan dunia. Gagasan pembentukan komunitas
ASEAN itu dicetuskan pada tahun 1997 dalam visi ASEAN 2002 dan
dikukuhkan pada tahun 2003 pada KTT ke-9 di Bali. Pilar komunitas
ASEAN adalah tiga pilar dalam membangun komunitas ASEAN, yaitu
pilar politik-keamanan, pilar ekonomi, dan pilar sosial-budaya. Masing-
masing pilar memiliki bidang kerja sama antarnegara anggota ASEAN.
Pilar Komunitas Politik-Keamanan ASEAN menangani peningkatan
kerja sama di bidang politik dan keamanan untuk memelihara perdamaian
serta memajukan nilai Hak Asasi Manusia dan demokratisasi di kawasan
ASEAN. Komunitas Politik Keamanan itu bersifat terbuka, berdasarkan
pendekatan keamanan menyeluruh, dan tidak membentuk suatu pakta
pertahanan militer ataupun kebijakan luar negeri bersama. Penggagas
Komunitas Politik Keamanan ASEAN adalah Indonesia. Indonesia juga
memelopori penyusunan Rencana Aksi Komunitas Politik Keamanan
ASEAN yang disahkan pada KTT ke-10 ASEAN di Vientiane, Laos,
November 2004.
Pilar Ekonomi. Komunitas Ekonomi ASEAN/ (KEA) /
ASEAN Economic
Community (AEC)
ialah komunitas yang bekerja sama dalam upaya
memperdalam dan memperluas ekonomi terpadu di kawasan ASEAN dan
dengan kawasan di luar ASEAN. KEA bertujuan membentuk ASEAN
sebagai pasar tunggal dan basis produksi, kawasan yang lebih dinamis
dan berdaya saing, memiliki pembangunan yang setara, serta berupaya
mempercepat keterpaduan ekonomi di kawasan ASEAN dan dengan
kawasan di luar ASEAN.
Pilar Sosial-Budaya. Pilar Komunitas Sosial Budaya ASEAN merupakan
sebuah wadah untuk memperkuat keterpaduan ASEAN. Kerja sama itu
bertujuan untuk memperkokoh kesadaran, kesetiakawanan, kemitraan,
dan rasa kepemilikan masyarakat terhadap ASEAN. Kerja sama sosial
budaya ASEAN mencakup bidang kebudayaan, penerangan, pendidikan,
lingkungan hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi, penanganan bencana
241
Sejarah Indonesia
alam, kesehatan, ketenagakerjaan, pembangunan sosial, pengentasan
masyarakat dari kemiskinan, pemberdayaan perempuan, kepemudaan,
penanggulangan narkoba, peningkatan administrasi dan kepegawaian
publik.
Komunitas ASEAN berpusat pada masyarakat untuk penguatan
kesetiakawanan dan persatuan dalam perbedaan ciri-ciri kebudayaan
antarnegara anggota ASEAN. Persatuan dan kesetiakawanan tersebut
dibangun melalui penguatan identitas bersama dan pembangunan
masyarakat yang saling peduli, berbagi, dan harmonis.
ASEAN juga bertekad untuk memperkuat persatuan dan saling
pengertian terhadap perbedaan kebudayaan, sejarah, agama, dan peradaban.
Pada 22 November 2015 10 negara anggota ASEAN menandatangani
deklarasi komunitas ASEAN. Selanjutnya, pada 13 November 2017 para
pemimpin tingkat tinggi ASEAN meluncurkan
Masterplan
Konektivitas
ASEAN 2025.
5. Organisasi Konferensi Islam
Organisasi Konferensi Islam (OKI) adalah organisasi internasional yang
anggotanya terdiri atas negara-negara Islam seluruh dunia. Organisasi ini
didirikan pada tanggal 22 September 1969 saat Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) negara-negara Islam di Rabat Maroko atas prakarsa Raja Faisal dari
Arab Saudi dan Raja Hasan II dari Maroko. Latar belakang didirikannya
organisasi dipicu oleh peristiwa pembakaran Mesjid Al Aqsho yang terletak di
kota Al Quds (Jerusalem) pada tanggal 21 Agustus 1969. Peristiwa pembakaran
tersebut menimbulkan reaksi keras dunia, terutama dari kalangan umat Islam.
Saat itu dirasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengorganisir dan
menggalang kekuatan dunia Islam serta mematangkan sikap dalam rangka
mengusahakan pembebasan Al-Quds. Pada awalnya OKI mempunyai 25
anggota dan saat ini jumlahnya bertambah menjadi 57 negara anggota serta
sejumlah negara pengamat, antara lain Bosnia Herzegovina, Republik Afrika
Tengah, Pantai Gading, dan Thailand.
OKI didirikan berdasarkan pada keyakinan atas agama Islam,
penghormatan pada Piagam PBB dan Hak Asasi Manusia (HAM). Pada
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) III OKI bulan February 1972, telah
diadopsi piagam organisasi yang berisi tujuan OKI yaitu; meningkatkan
solidaritas Islam serta mengkordinasikan kerja sama politik, ekonomi, dan
sosial budaya antarnegara-negara anggota, mendukung upaya perdamaian
dan keamanan internasional, serta melindungi tempat-tempat suci Islam dan
membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan
berdaulat, dan bekerjasama untuk menentang diskriminasi rasial dan segala
bentuk penjajahan, menciptakan suasana yang menguntungkan dan saling
pengertian di antara negara anggota dan negara-negara lain.
242
Kelas XII SMA/MA
Untuk mencapai tujuan di atas, negara-negara anggota menetapkan
5 prinsip, yaitu; 1) persamaan mutlak antarnegara-negara anggota, 2)
menghormati hak menentukan nasib sendiri, tidak campur tangan atas urusan
dalam negeri negara lain, 3) menghormati kemerdekaan, kedaulatan dan
integritas wilayah setiap negara, 4) penyelesaian sengketa yang mungkin
timbul melalui cara-cara damai seperti perundingan, mediasi, rekonsiliasi
atau arbitrasi, 5) abstain dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap
integritas wilayah, kesatuan nasional atau kemerdekaan politik suatu negara.
Konferensi para kepala negara/pemerintahan (Konferensi Tingkat Tinggi/
KTT) merupakan badan otoritas tertinggi dalam organisasi. Semula badan
tersebut mengadakan sidangnya apabila kepentingan umat Islam memandang
perlu untuk mengkaji dan mengkoordinasikan mengenai masalah-masalah
yang menyangkut kepentingan dunia Islam. Tetapi pada KTT III OKI di
Mekah, bulan Januari 1981, ditetapkan bahwa KTT diadakan sekali dalam
tiga tahun untuk menetapkan kebijakan-kebijakan yang akan diambil OKI.
Sedangkan untuk Konferensi Para Menteri Luar Negeri (KTM), sesuai
dengan artikel V Piagam OKI diadakan sekali dalam setahun bertempat di salah
satu negara anggota. Pertemuan yang dihadiri oleh para menteri luar negeri
tersebut akan memeriksa dan menguji
“progress report”
dari implementasi
atas keputusan-keputusan dari kebijakan yang diambil pada pertemuan KTT.
Sesuai artikel VIII Piagam OKI yang menyangkut keanggotaan dijelaskan
bahwa organisasi terdiri atas negara-negara Islam yang turut serta dalam KTT
yang diadakan di Rabat dan KTM-KTM (Konferensi Para Menteri Luar Negeri)
yang diselenggarakan di Jedah (Maret 1970), Karachi (Desember 1971) serta
yang menandatangani piagam. Kriteria yang dirancang oleh Pantia Persiapan
KTT I adalah “Negara Islam” adalah negara yang konstitusional Islam atau
mayoritas penduduknya Islam. Semua negara muslim dapat bergabung dalam
OKI.
Pada tahun-tahun pertama kedudukan Indonesia dalam OKI menjadi
sorotan baik di kalangan OKI sendiri maupun di dalam negeri. Indonesia
menjelaskan kepada OKI bahwa Indonesia bukanlah negara Islam secara
konstitusional atau tidak turut sebagai penandatangan Piagam. Tetapi Indonesia
telah turut serta sejak awal (Indonesia hadir pada KTT I OKI di Rabat Maroko)
dan juga salah satu negara pertama yang turut berkecimpung dalam kegiatan
OKI, kedudukan Indonesia disebut sebagai “Partisipan aktif”. Status, hak dan
kewajiban Indonesia sama seperti negara-negara anggota lainnya.
Pada awalnya, partisipasi Indonesia dalam OKI sangat terbatas, bahkan
keanggotaan Indonesia dalam OKI sempat menjadi perdebatan, baik di dalam
OKI maupun oleh kalangan dalam negeri. Ketika Piagam OKI dihasilkan
243
Sejarah Indonesia
pada tahun 1972, Indonesia tidak ikut menandatanganinya sehingga tidak
dikategorikan sebagai sebagai anggota resmi. Pertimbangannya adalah bahwa
berdasarkan UUD 1945, Indonesia bukanlah negara Islam. Namun karena
adanya tuntutan dan desakan-desakan dari dalam negeri, dimana mayoritas
penduduk Indonesia adalah muslim, Indonesia tidak bisa meninggalkan OKI
bahkan kemudian mulai memberikan kontribusi secara aktif dalam OKI di
masa–masa berikutnya.
Pada dekade 1990-an, partisipasi aktif Indonesia di OKI mulai terlihat,
yaitu ditandai dengan kehadiran Presiden Soeharto pada KTT OKI ke-6 di
Senegal pada Desember 1991. Hal ini dapat dilihat sebagai titik awal perubahan
kebijakan luar negeri Indonesia untuk berpartisipasi lebih aktif di OKI.
Partisipasi aktif Indonesia di OKI mulai mendapatkan respons positif
dari banyak kalangan, bahkan Indonesia menjadi pemeran penting dalam
pelaksanaan agenda-agenda OKI. Indonesia dipandang memiliki peran yang
sangat strategis bagi OKI dan dunia Islam, karena Indonesia merupakan negara
dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia yang bukan negara Islam,
serta prestasi-prestasi Indonesia di dalam penerapan demokrasi. Indonesia
bisa dikatakan menjadi “model” ideal bagi dunia Islam dalam penerapan
demokrasi, karena dinilai berhasil di dalam menerapkan demokrasi. Selain itu
Indonesia juga dianggap sebagai “jembatan” penghubung antara dunia Islam
dengan dunia Barat. Kedekatan Indonesia dengan Barat dikarenakan prestasi
Indonesia di dalam pengembangan demokrasi, menjadi sebuah modal penting
bagi Indonesia untuk dekat dengan dunia Barat yang selama ini selalu giat
mengumandangkan demokratisasi dunia, terlebih pasca Perang Dingin.
Kontribusi nyata Indonesia sebagai anggota OKI yang paling memiliki
peran strategis di antaranya adalah pada tahun 1993, Indonesia menerima
mandat sebagai ketua
committee of six
yang bertugas memfasilitasi
perundingan damai antara
Moro National Liberation Front
(MNLF) dengan
pemerintah Filipina. Kemudian pada tahun 1996, Indonesia menjadi tuan
rumah bagi terselenggaranya Konferensi Tingkat Menteri OKI (KTM-OKI)
ke-24 di Jakarta. Selain itu, Indonesia juga memberikan kontribusi untuk
mereformasi OKI sebagai wadah untuk menjawab tantangan untuk umat
Islam memasuki abad ke-21. Pada penyelenggaraan KTT OKI ke-14 di
Dakar, Senegal, Indonesia mendukung pelaksanaan
OIC’s Ten Year Plan of
Action
. Dengan diadopsinya piagam ini, Indonesia memiliki ruang untuk lebih
berperan dalam memastikan implementasi reformasi OKI tersebut. Indonesia
berkomitmen dalam menjamin kebebasan, toleransi dan harmonisasi serta
memberikan bukti nyata akan keselarasan Islam, demokrasi, dan modernitas.
244
Kelas XII SMA/MA
Dari peran-peran Indonesia dalam OKI tersebut nampak dengan nyata
usaha diplomasi Indonesia dalam dunia Islam yang tetap bebas dan aktif, bebas
karena tidak terikat dalam suatu blok tertentu, dan aktif dalam mengusahakan
segala kestabilan dan keharmonisan serta perdamaian dunia, baik dunia Islam
maupun Barat.
6. Deklarasi Djuanda
Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah RI mengeluarkan sebuah
klaim atau pernyataan yang menjadi salah satu dasar kedaulatan wilayah
yang baru setelah Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945 dan Konferensi
Meja Bundar tahun 1949. Karena pernyataan tersebut dilakukan pada masa
Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaya maka lebih dikenal sebagai Deklarasi
Djuanda. Deklarasi Djuanda adalah suatu perjuangan bangsa Indonesia untuk
memperjuangkan batas wilayah laut, sehingga wilayah Indonesia merupakan
suatu kesatuan yang utuh dilihat dari berbagai aspek, yaitu aspek politik,
sosial budaya,
dan pertahanan
keamanan.
Melihat
kondisi
geografis
Indonesia
yang unik, banyaknya wilayah laut dibanding darat, menyadarkan pemerintah
Indonesia bahwa persoalan wilayah laut merupakan faktor penting bagi
kedaulatan negara.
Secara historis batas wilayah laut Indonesia telah dibuat oleh pemerintah
kolonial Belanda, yaitu dalam
Territorial Zee Maritieme Kringen Ordonantie
tahun 1939, yang menyatakan bahwa lebar wilayah laut Indonesia adalah
tiga mil diukur dari garis rendah di pantai masing-masing pulau Indonesia.
Karenanya di antara ribuan pulau di Indonesia terdapat laut-laut bebas yang
membahayakan kepentingan bangsa Indonesia sebagai Negara Kesatuan.
Selama masa pendudukan bangsa Eropa di wilayah Nusantara, prinsip
kebebasan lautan yang diajarkan
Hugo de Groot
(Grotius), seorang ilmuwan
dari Belanda telah mengakibatkan datangnya pedagang-pedagang Belanda ke
negeri Nusantara melalui lautan, yang kemudian berlanjut dengan penjajahan.
Pada tahun 1608,
Hugo de Groot
menuliskan dalam bukunya bahwa Belanda,
seperti halnya bangsa Eropa yang lainnya, memiliki hak yang sama untuk
berlayar ke Timur. Dengan demikian, prinsip hak milik negara atas lautan
juga telah menyebabkan penguasaan Nusantara beserta lautnya oleh berbagai
kekuatan luar seperti Portugal, Spanyol, Inggris dan lain-lain. Selama kurang
lebih tiga abad selanjutnya, laut Nusantara lebih banyak berfungsi sebagai alat
pemisah dan pemecah belah kesatuan dan persatuan Indonesia.
Baru pada abad ke-20, melalui
Territoriale Zee en Maritieme Kringen
Ordonnantie
1939 (Staatsblad 1939 No. 422) atau yang biasa disingkat
dengan Ordonantie 1939, wilayah laut dalam suatu pulau di Nusantara
245
Sejarah Indonesia
memiliki ketetapan hukum yang diakui secara internasional.
Ordonantie
1939 menetapkan bahwa jarak laut teritorial bagi tiap-tiap pulau sejauh tiga
mil. Peraturan ini, memunculkan ’kantong-kantong’ lautan bebas di tengah-
tengah wilayah negara yang membuat kapal-kapal asing dapat berlayar secara
bebas. Ordonansi itu juga berlaku bagi kapal-kapal perang Belanda yang tidak
mungkin dilarang oleh Indonesia. Kapal-kapal Belanda dapat dengan bebas
menjelajahi perairan laut di antara pulau-pulau di Indonesia karena memang
hukum laut internasional yang berlaku saat itu masih memungkinkannya.
Indonesia tidak memiliki hak untuk melarangnya apalagi kekuatan Angkatan
Laut Indonesia masih jauh ketinggalan dengan Belanda.
Keberadaan laut bebas di antara pulau-pulau di wilayah Negara Republik
Indonesia jelas sangatlah janggal. Bagaimana pun penduduk antara satu pulau
dengan pulau lainnya masih satu bangsa, sehingga tidak mungkin sebuah
negara yang berdaulat dipisah-pisahkan oleh laut bebas sebagai pembatasnya.
Oleh sebab itu, mulai muncul gagasan untuk merombak sistem hukum laut
Indonesia.
Pemikiran untuk mengubah Ordinantie 1939 dimulai pada 1956. Pada
waktu itu, pimpinan Departemen Pertahanan Keamanan RI mendesak kepada
pemerintah untuk segera merombak hukum laut warisan kolonial yang secara
nyata tidak dapat menjamin keamanan wilayah Indonesia. Desakan itu juga
didukung oleh departemen lain seperti Departemen Dalam Negeri, Pertanian,
Pelayaran, Keuangan, Luar Negeri, dan Kepolisian Negara. Akhirnya, pada 17
Oktober 1956 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memutuskan membentuk
suatu panitia interdepartemental yang ditugaskan untuk merancang RUU
(Rencana Undang-Undang) Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan
Maritim berdasarkan Keputusan Perdana Menteri RI No. 400/P.M./1956.
Panitia itu di bawah pimpinan Kolonel Laut R. M. S. Pirngadi.
Setelah bekerja selama 14 bulan akhirnya ’Panitia Pirngadi’ berhasil
menyelesaikan konsep RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan
Maritim. Pada prinsipnya, RUU itu masih mengikuti konsep Ordonansi 1939;
perbedaannya adalah bahwa laut teritorial Indonesia ditetapkan dari tiga mil
menjadi 12 mil. Panitia belum berani mengambil berbagai kemungkinan
risiko untuk menetapkan asas
straight base line
atau asas
from point to point
mengingat kekuatan Angkatan Laut Indonesia masih belum memadai. Sebelum
RUU disetujui, Kabinet Ali bubar dan digantikan oleh Kabinet Djuanda.
Sejalan dengan ketegangan yang terjadi antara Belanda dan RI terkait
masalah Irian Barat, pemerintahan Djuanda lebih banyak mencurahkan
perhatian untuk menemukan sarana yang dapat memperkuat posisi RI
dalam melawan Belanda yang lebih unggul dalam pengalaman perang dan
246
Kelas XII SMA/MA
persenjataan. Untuk itu, sejak 1 Agustus 1957, Ir. Djuanda mengangkat Mr.
Mochtar Kusumaatmadja untuk mencari dasar hukum guna mengamankan
keutuhan wilayah RI. Akhirnya, ia memberikan gambaran ’asas archipelago’
yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional pada 1951 seperti yang
telah dipertimbangkan oleh RUU sebelumnya namun tidak berani untuk
menerapkannya dalam hukum laut Indonesia. Sebagai alternatif terhadap
RUU itu, disusun konsep ’asas negara kepulauan’.
Dengan menggunakan ’asas archipelago’ sebagai dasar hukum laut
Indonesia, maka Indonesia akan menjadi negara kepulauan atau ’archipelagic
state’ yang merupakan suatu eksperimen radikal dalam sejarah hukum laut dan
hukum tata negara di dunia. Dalam sidang 13 Desember 1957, Dewan Menteri
akhirnya memutuskan penggunaan ’
Archipelagic State Principle
’ dalam tata
hukum di Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya ’Pengumuman Pemerintah
mengenai Perairan Negara Republik Indonesia’. Dalam pengumuman itu,
pemerintah menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara, dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau yang termasuk daratan Negara
Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah
bagian dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian
merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan
mutlak Negara Republik Indonesia. Isinya adalah:
”segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-
pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik
Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-
bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia
dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang
berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia.
Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing
dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu
kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia”.
Dalam peraturan, yang akhirnya dikenal dengan sebutan Deklarasi Djuanda,
disebutkan juga bahwa batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya tiga mil
diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik
ujung terluar pada pulau-pulau dari wilayah negara Indonesia pada saat air laut
surut. Dengan keluarnya pengumuman tersebut, secara otomatis
Ordonantie
1939
tidak berlaku lagi dan wilayah Indonesia menjadi suatu kesatuan antara
pulau-pulau serta laut yang menghubungkan antara pulau-pulau tersebut.
Dalam Deklarasi Djuanda terkandung suatu konsepsi negara maritim
“Nusantara”, yang melahirkan konsekuensi bagi pemerintah dan bangsa
247
Sejarah Indonesia
Indonesia untuk memperjuangkan serta mempertahankannya hingga mendapat
pengakuan internasional. Deklarasi Djuanda merupakan landasan struktural
dan legalitas bagi proses integrasi nasional Indonesia sebagai negara maritim.
Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, maka
Ordonantie 1939
sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, dan garis teritorial laut Indonesia yang
sebelumnya 3 mil menjadi 12 mil. Namun, tidak lama setelah Indonesia
mengeluarkan peraturan tersebut, muncul beberapa reaksi terhadap peraturan
tersebut. Reaksi protes datang dari beberapa negara seperti dari Amerika
Serikat (tanggal 30 Desember 1957), Inggris (3 Januari 1958), Australia
(3 Januari 1958), Belanda (3 Januari 1958), Perancis (8 Januari 1958), dan
Selandia Baru (11 Januari 1958). Reaksi penolakan tersebut sudah dipikirkan
oleh pemerintah Indonesia, dan sudah pula diumumkan bahwa reaksi-reaksi
dari berbagai negara tersebut akan diperhatikan dan dibahas dalam konferensi
internasional mengenai hak-hak atas lautan yang akan diadakan pada 1958 di
Jenewa. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah siap dengan reaksi protes
yang diajukan dan siap berdebat pada konferensi di Jenewa.
Delegasi Indonesia yang datang pada konferensi internasional mengenai
hak-hak atas lautan yang diadakan di Jenewa terdiri atas Mr. Ahmad Subardjo
Djojohadisuryo, S.H. yang pada waktu menjabat sebagai Duta Besar RI di
Swiss, Mr. Mochtar Kusumaatmadja, Goesti Moh. Chariji Kusuma, dan M.
Pardi (Ketua Mahkamah Pelayaran). Dalam kesempatan itu delegasi Indonesia
mengemukakan asas
Archipelagic Principle
dalam pidatonya. Inilah untuk
pertama kali masyarakat internasional mendengar penjelasan mengenai
implementasi ’
Archipelagic Principle
’ terhadap suatu negara yang melahirkan
’
Archipelagic State Principle
’ yang pada waktu itu masih asing bagi dunia.
Asing karena asas ini eksis tapi belum ada satu pun negara di dunia yang
menggunakannya. Meskipun telah dijelaskan lewat pidato, negara-negara
yang pernah menyampaikan protes kepada pemerintah Indonesia belum dapat
menerima. Hanya, Indonesia mendapatkan dukungan dari Ekuador, Filipina,
dan Yugoslavia.
Pemerintah Indonesia kemudian menggunakan beberapa cara untuk
mendapat simpati dari negara-negara lain, misalnya dengan menyebarkan
tulisan
The Indonesian Delegation to the Conference on the Law of the Sea
.
Usaha itu mulai membuahkan hasil dan setelah itu mulai banyak negara-
negara yang bersimpati dengan perjuangan Indonesia.
Pemerintah Indonesia kemudian merancang peraturan 13 Desember
menjadi undang-undang agar kedudukannya menjadi lebih kuat. Pada
tahun 1960 pengumuman tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 4/1960. Produk hukum inilah
248
Kelas XII SMA/MA
yang kemudian juga disampaikan pada Konferensi Hukum Laut PBB ke-2
yang diselenggarakan tahun 1960, namun usul Indonesia masih belum dapat
diterima. Pada tahun 1962, Indonesia kembali menerbitkan PERPU No. 8/1962
mengenai ’Lalu-lintas Laut Damai Kapal Asing dalam Perairan Indonesia, dan
masih terus menyempurnakan implementasi Asas Negara Kepulauan dalam
sistem hukum di Indonesia.
Jalan Indonesia untuk memperjuangkan diakuinya Asas Negara Kepulauan
mulai menemui kemudahan ketika pada tahun 1971 Indonesia dipilih menjadi
anggota
Committee of the Peaceful Uses of the Sea-Bed and Ocean Floor
beyond the Limit of National Jurisdiction
yang merupakan badan PBB
untuk mempersiapkan Konferensi Hukum Laut PBB. Dipilihnya Indonesia
sebagai anggota badan tersebut, membuat Indonesia lebih mudah dalam
menyosialisasikan implementasi prinsip negara kepulauan agar mendapatkan
pengakuan dari pihak internasional. 12 Maret 1980, dengan menggunakan
dasar Hukum Laut Internasional mengenai
Economic Exclusive Zone
Pemerintah Indonesia juga mengumumkan peraturan tentang Zone Ekonomi
Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil diukur dari garis dasar. Pada tahun 1983,
pengumuman ini disahkan menjadi Undang-undang RI No. 5/1983.
Konsep negara kepulauan sendiri baru disetujui oleh mayoritas negara-
negara di dunia pada 10 Desember 1982 pada Konvensi Hukum Laut
Internasional.Tidak hanya konsep negara kepulauan saja yang disetujui, namun
juga mengenai ZEE. Lebih dari itu, konsep negara kepulauan juga dimasukkan
sebagai bagian dari Konvensi Hukum Laut PBB. Suatu kemenangan diplomasi
Indonesia yang patut dicatat sejarah. Karena itulah kini tanggal 13 Desember,
hari di saat UU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim dan
diterimanya Asas Negara Kepulauan, diperingati sebagai Hari Nusantara. Jika
pada Sumpah Pemuda (1928) rakyat Indonesia menyatakan diri sebagai suatu
bangsa, pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan bangsa
tersebut, maka pada tanggal 13 Desember 1957 ini dinyatakanlah wilayah
yang menjadi tanah airnya.
Dalam Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 melalui
United
Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS) hingga kini telah
diratifikasi
oleh 140 negara.
Negara-negara
kepulauan
(
Archipelago States
)
memperoleh hak mengelola Zona Ekonomi Ekslkusif (ZEE) seluas 200 mil
laut di luar wilayahnya. Hal ini kemudian dituangkan ke dalam Undang-
Undang Nomor 17 tahun 1985 tentang pengesahan
United Nations Convention
on the Law of the Sea
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum
Laut).
Dengan ditetapkannya Deklarasi Djuanda dan diresmikannya deklarasi
itu menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang perairan Indonesia.Wilayah negara
249
Sejarah Indonesia
RI yang semula luasnya 2.027.087 km
2
(daratan) bertambah luas lebih kurang
menjadi 5.193.250 km
2
(terdiri atas daratan dan lautan). Ini berarti bertambah
kira-kira 3.106.163 km
2
atau 145%. Manfaat dari deklarasi Djuanda ini
berlanjut kepada bertambah besarnya perairan laut Indonesia. Deklarasi ini
mengandung konsep tanah air yang tidak lagi memandang laut sebagai alat
pemisah dan pemecah bangsa tetapi dinilai sebagai alat pemersatu dan wahana
pembangunan nasional.
7.
Jakarta Informal Meeting (JIM)
I dan II
Pada tahun 1970 di Kamboja, terjadi kudeta yang pada saat itu dipimpin
oleh Pangeran Norodom Sihanouk. Ketika itu, Pangeran Norodom Sihanouk
sedang berada di luar negeri, keponakannya yang bernama Pangeran Sisowath
Sirik Matak bersama Lo Nol melakukan kudeta kekuasaan, sejak peristiwa itu
terjadi perang saudara yang berlangsung lama dan berlarut-larut. Sihanouk
kemudian memilih untuk mengasingkan diri di Beijing dan memutuskan
untuk beraliansi dengan Khmer Merah, yang bertujuan untuk menentang
pemerintahan Lon Nol dan akhirnya dapat merebut kembali tahtanya.
Pada tahun 1975 Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot berhasil
menggulingkan Lon Nol dan mengubah format kerajaan menjadi sebuah
Republik Demokratik Kamboja (
Democratic Kampuchea
/ DK) yang dipimpin
oleh Pol Pot. Namun sayangnya, semasa Pol Pot berkuasa Kamboja terperosok
dalam tragedi yang mengenaskan di mana Khmer Merah menjalankan program
Cambodia the Year Zero,
yaitu dengan menjadikan Kamboja sebagai Negara
Agraris. Namun program ini justru berakhir dengan tewasnya sekitar tiga juta
orang rakyat Kamboja akibat kelaparan, wabah penyakit dan pembantaian.
Pada akhir 1978, terjadi bentrokan di perbatasan antara rezim Khmer
Merah dengan Vietnam. Dalam kurun waktu itu juga terjadi pembantaian
orang- orang keturunan Vietnam di Kamboja, sehingga Vietnam menyerbu
Kamboja dengan tujuan untuk menghentikan genosida besar-besaran tersebut.
Invasi Vietnam berhasil menggulingkan rezim Khmer Merah dan pada bulan
Januari 1979, Vietnam mendirikan rezim baru di Kamboja dengan Heng
Samrin bertindak sebagai kepala negaranya. Pembentukan pemerintahan
baru ini ditentang keras oleh Kaum Nasionalis Kamboja, termasuk Sihanouk
sendiri, yang kemudian membentuk kelompok perlawanan yang dikenal
sebagai
Coalition Government of Democratic Kampuchea
(CGDK) yang
terdiri atas kelompok Khmer Merah yang baru saja ditumbangkan Vietnam,
Front
Uni National
pour un Cambodge
Independent,
Neutre
Pacifique
et
Cooperatif
(FUNCINPEC) di bawah pimpinan Sihanouk dan
Khmer People
Liberation Front
(KPNLF) di bawah pimpinan Son Sann.
250
Kelas XII SMA/MA
Perang saudara kemudian terus berlanjut tanpa ada tanda-tanda
penyelesaian.Kenyataan yang menyebabkan kesengsaraan yang sangat
memprihatinkan bagi rakyat Kamboja inilah yang kemudian mendorong
Indonesia bersama-sama negara-negara anggota ASEAN lainnya memulai
prakarsa serta berbagai upaya mediasi guna mencari penyelesaian yang damai,
adil, langgeng
dan menyeluruh.
Pada gilirannya,
konflik
internal
ini melibatkan
campur tangan dari pihak di luar Kamboja dalam upaya penanganan masalah
yang dinilai dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional.
Dalam
kerangka
penyelesaian
konflik
Kamboja,
berbagai
upaya telah
dilaksanakan untuk mencapai sebuah perdamaian. Salah satu negara yang
memainkan
peran signifikan
dalam
penyelesaian
konflik
Kamboja,
adalah
Indonesia.
Hal tersebut
bermula
dari awal tahun 1980-an
di mana konflik
internal tengah mengalami eskalasi yang memprihatinkan, Indonesia semakin
meningkatkan perhatiannya terhadap masalah yang terjadi di Kamboja. Hal ini
tentunya sejalan dengan politik luar negeri Indonesia yang turut aktif dalam
menghadapi permasalahan-permasalahan dunia seperti juga yang termuat
dalam Mukadimah UUD 1945 yaitu turut mewujudkan perdamaian dunia.
Di sisi lain, Indonesia sebagai salah satu pendiri dan soko guru ASEAN
juga harus menunjukkan kapasitasnya sebagai stabilisator utama di kawasan,
di mana hal ini juga tentunya sejalan dengan tujuan ASEAN dalam upayanya
untuk mengatasi
konflik
yang berkepanjangan
di negara tersebut
sehingga
demi
perdamaian dapat tercapai di kawasan. Pembentukan
Coalition Government
of Democratic Kampuchea
(CGDK) pada tahun 1982 dengan Sihanouk selaku
Presidennya, diakui oleh ASEAN dan didukung oleh negara-negara Barat dan
anggota PBB lainnya. Peristiwa ini mendorong dipercepatnya penyelesaian
konflik
Kamboja
di meja perundingan,
baik pada tingkatan
regional
maupun
internasional.
Di lain pihak, reputasi Indonesia sebagai mediator/penengah yang disegani
di kawasan telah memperoleh pengakuan oleh negara-negara ASEAN. Hal ini
dibuktikan dengan dipilihnya Indonesia sebagai ‘penghubung” antara ASEAN
dan Vietnam yang menunjukan semakin menonjolnya peranan Indonesia
dalam penyelesaian
konflik
ataupun
rekonsiliasi
di Kamboja.
Tercatat
pada
bulan Mei 1984 berlangsung pertemuan tahunan ASEAN tingkat menteri di
Jakarta, yang tujuan pokoknya adalah rekonsiliasi nasional dan pembahasan
upaya penyelesaian
konflik
Kamboja
melalui
jalan damai.
Dalam
pertemuan
tersebut, Indonesia kemudian terpilih sebagai “penghubung” antara ASEAN
dan Vietnam dengan tugas memperjuangkan tercapainya dialog murni
dengan Vietnam dalam rangka mencari suatu pendekatan yang aktif terhadap
penyelesaian masalah dalam kerangka keamanan strategis kawasan.Perjuangan
251
Sejarah Indonesia
diplomasi Indonesia tersebut kemudian ditindak lanjuti oleh Menteri Luar
Negeri Indonesia Mochtar Kusumaatmaja yang secara aktif mulai menyusun
berbagai strategi sebagai
Interlocutor
guna mengupayakan penyelesaian
konflik secara damai di Kamboja.
Mochtar Kusumatmadja merintis perjuangan awal diplomasi Indonesia
untuk mengundang para pihak terkait yang terlibat dalam pertikaian untuk
duduk bersama di meja perundingan, dan mengusulkan agar pertemuan yang
dimaksud harus diadakan di tempat yang netral seperti Indonesia, yaitu agar
pihak-pihak yang saling bertikai merasa bebas dalam membicarakan masalah
Kamboja dan masa depannya. Penujukan mandat kepada Indonesia, berhasil
diemban dengan baik oleh Mochtar Kusumaatmadja yang sukses meyakinkan
Vietnam untuk dapat turut berpartisipasi dalam perundingan dengan faksi-
faksi yang bertikai di Kamboja melalui
Ho Chi Minh City Understanding.
Berangkat dari gagasan awal Indonesia, perjuangan selanjutnya dalam
upaya
membawa
perdamaian
atas konflik
internal
yang berkecamuk
di
Kamboja kemudian dijalankan oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas (pengganti
Mochtar Kusumatmadja) yang bertindak sebagai tokoh kunci, dan sebagai
“pelaksana” terhadap jalannya berbagai proses mediasi, hingga tercapai suatu
babak baru dalam lembaran sejarah perdamaian di Kamboja.
Ali Alatas yang baru menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI pada tahun
1988 segera membuat gebrakan awal dengan melakukan kunjungan perkenalan
ke ibukota negara-negara ASEAN, yaitu dalam rangka menindaklanjuti
usulan Mochtar untuk mengadakan pertemuan informal di Jakarta. Konsep
ini pada awalnya kurang mendapat dukungan dari Menlu ASEAN lainnya,
namun melalui serangkaian kunjungan dan pendekatan yang dilakukan oleh
Ali Alatas tersebut, pada akhirnya Indonesia dapat memperoleh dukungan
yang kuat dari masyarakat internasional.
Dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia memiliki
hubungan yang lebih dekat dengan Vietnam. Hal ini terlihat dengan tindakan
Indonesia sebagai negara Asia Tenggara pertama yang membuka hubungan
diplomatik dengan Vietnam pada tahun 1955. Hal tersebut pada prinsipnya
didasarkan pada kesamaan pandangan antara Indonesia dan Vietnam mengenai
latar belakang sejarah, di mana perjuangan Indonesia dan Vietnam untuk
mendapat pengakuan terhadap kemerdekaannya memiliki jalan yang hampir
sama yaitu melalui perang kemerdekaan.
Mengemban tugas sebagai “penghubung”, Indonesia mampu menjalankan
fungsi tersebut dengan baik. Tercatat pada pertengahan tahun 1987 Indonesia
memprakarsai
Cocktail Party
sehingga berhasil mendapatkan kesepakatan
Ho
252
Kelas XII SMA/MA
Chi Minh City Understanding
antara Menlu RI-Menlu Vietnam dan ditindak
lanjuti dengan
Jakarta Informal Meeting
(JIM) I. Pertemuan yang merupakan
babak baru dalam upaya mewujudkan perdamaian ini untuk pertama kalinya
berhasil mempertemukan masing-masing faksi yang bertikai di Kamboja.
Dengan demikian, Indonesia memainkan peran sentral dalam upaya mediasi
penyelesaian
konflik
internal
di Kamboja
ini. Perkembangan
dari pembicaraan
tersebut kemudian dilanjutkan melalui
Jakarta Informal Meeting II
(JIM II) .
Selanjutnya, pertemuan-pertemuan pasca JIM I dan II mulai melibatkan
negara-negara di luar ASEAN yang menunjukan bahwa upaya untuk
mencapai perdamaian di Kamboja telah mencapai tingkat internasional.
Bahkan
memasuki
tahun 1980 terobosan
untuk mencapai
resolusi
atas konflik
Kamboja yang diperankan oleh Indonesia selaku mediator memasuki tahapan
yang lebih progresif lagi dengan adanya partisipasi aktif PBB melalui Dewan
Keamanan dalam berbagai tahapan mediasi. Melalui kesepakatan yang dicapai
pada Konferensi Internasional Paris/
Paris International Conference
(PIC),
dihasilkan suatu kerangka kerja PBB yaitu dengan dibentuknya
Supreme
National Council of Cambodia
(SNC). Kemudian dalam rangka menggodok
kerangka kerja tersebut guna mencapai suatu dokumen akhir tentang
penyelesaian
damai yang menyeluruh
terhadap
konflik
Kamboja,
digelarlah
Informal Meeting on Cambodia
(IMC) I dan II di Jakarta.
Akhirnya, setelah melalui proses perundingan yang panjang, maka
pada tanggal 23 Oktober 1991, digelarlah
Paris International Conference
on Cambodia
(PICC) di bawah pimpinan Ketua bersama
(Co-Chairman)
Indonesia dan Perancis yang memberi hasil ditandatanganinya dokumen
Perjanjian Paris. Kesepakatan ini telah menandai perjuangan akhir dari upaya
perdamaian di Kamboja dan memulai babak baru dalam pemerintahan yang
demokratis di negara ini.
Paparan bab ini memperlihatkan proses lahirnya kebijakan politik luar
negeri Indonesia bebas aktif dan dinamikanya sejak kemerdekaan hingga
masa reformasi, serta peran aktif Indonesia dalam memelihara perdamaian
dunia baik di tingkat regional dan global. Peran tersebut sesuai dengan
komitmen bangsa sebagaimana tertuang dalam alinea keempat UUD 1945,
yang menekankan pentingnya peran Indonesia dalam ikut serta mewujudkan
perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi.
253
Sejarah Indonesia
KESIMPULAN
1.
Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia adalah bebas aktif.
Bebas maksudnya tidak terikat pada blok tertentu, sedangkan
aktif berarti selalu ikut serta dalam upaya perdamaian dunia.
2.
Konsep bebas aktif lahir ketika dunia tengah berada dalam
pengaruh dua blok utama setelah selesainya Perang Dunia ke
II, yaitu Blok Amerika Serikat dan Blok Uni Soviet.
3.
Keikutsertaan Indonesia dalam upaya perdamaian dunia antara
lain tercermin dari pengiriman Pasukan Misi Perdamaian
Garuda ke wilayah-wilayah konflik di dunia.
4.
Indonesia juga menjadi pelopor atau pendiri organisasi-
organisasi antarbangsa seperti Gerakan Non Blok, ASEAN dan
Konferensi Asia Afrika.
LATIH UJI KOMPETENSI
1.
Jelaskan tentang latar belakang lahirnya politik luar negeri
bebas aktif Indonesia!
2.
Apa persamaan dan perbedaan Konferensi Asia Afrika dan
Gerakan Non Blok?
3.
Jelaskan tentang proses pembentukan ASEAN!
4.
Jelaskan perbedaan antara kebijakan politik luar negeri
Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin dengan masa Orde
Baru!
TUGAS
Buat peta dunia!
Tunjukkan dalam peta tersebut lokasi-lokasi di mana Misi
Perdamaian Garuda pernah ditempatkan. Beri penjelasan singkat !
254
Kelas XII SMA/MA
Daftar Pustaka
Buku
Abdulgani, Roeslan. 1971.
25 Tahun Indonesia
-PBB. Djakarta: PT. Gunung Agung.
Abdullah,
Taufik.
ed. 2012.
Malam
Bencana
1965
dalam
Belitan
Krisis Nasional
. Bagian
I: Rekonstruksi dalam Perdebatan. Jakarta: Yayasan Obor.
Adams, Cindy. 2000.
Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Terj. Abdul Bar
Salim. Jakarta: Ketut Masagung Corp.
Akbar, Akhmad Zaini.
Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru, Esei-esei dari Fisipol
Bulaksumur,
Solo: Ramadhani, 1990.
Arifin, Z. 2009.
Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, Teknik, Prosedur.
Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Atmakusumah (ed). (1982).
Takhta Untuk Rakyat
, Jakarta: Gramedia.
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional 2011.
Atlas
Nasional Indonesia:
Sejarah,
Wilayah, Penduduk
dan
Budaya
(vol.III). Jakarta: Bakosutanal.
Bunnell, Frederick P. 1966. “Guided Democracy Foreign Policy: 1960-1965
President Soekarno Moves from Non-Alignment to Confrontation”, dalam
Indonesia
, 2: 37-76.
Caldwell, Malcolm dan Ernst Utrecht. 2011.
Sejarah Alternatif Indonesia
, Terj. Saut Pasaribu.
Yogyakarta: Djaman Baroe.
Center for Information Analysis. 2004.
Gerakan 30 September: Antara Fakta dan Rekayasa,
Berdasarkan Kesaksian Para Pelaku Sejarah
. Yogyakarta: Media Pressindo.
Crouch, Harold. 1999.
Militer dan Politik di Indonesia
. Terj. Th. Sumarthana, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Departemen Penerangan Republik Indonesia. 1975.
30
Tahun
Republik Indonesia
. Jakarta:
Departemen Penerangan Republik Indonesia.
Panitia Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri. 1971.
Sedjarah Departemen Luar
Negeri
. Jakarta : Deplu RI.
Dwipayana, G dan Nazaruddin Sjamsudin (ed). 2009.
Diantara Para Sahabat. Pak Harto 70
Tahun
. Jakarta: Chitra Kharisma Bunda.
Emmerson, Donal K. 2001.
Indonesia
Beyond
Soeharto:
Negara,
Ekonomi,
Masyarakat,Transisi
, Terj: Donald K Emmerson. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Feith, H. dan Castles, L., 1970,
Indonesian Political Thinking
, 1945 – 1965. New York: Ithaca.
Feith, Herbert, “Pemikiran Politik Indonesia 1945 – 1965; Suatu Pengantar”, dalam Miriam
Budiardjo, 1998.
Partisipasi dan Partai Politik
. Jakarta: Yayasan Obor.
Feith, Herbert. 2007.
The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.
Jakarta-Kuala Lumpur: Equinox Publishing.
255
Sejarah Indonesia
Feith, Herbert. 1999.
Pemilihan Umum 1955.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Girsang, Laidin. 1979.
Indonesia sejak Orde Baru
. Jakarta: Yayasan Lalita.
Gonggong, Anhar dan Musya Asy’arie (ed). 2005.
Sketsa
Perjalanan
Bangsa
Berdemokrasi
. Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika.
Harmoko. 1986.
Komunikasi Sambung Rasa
. Jakarta : Sinar Harapan.
Hatta, Mohammad. 1948. “Mendayung Antara Dua Karang: Keterangan Pemerintah
tentang Politik-nya kepada Badan Pekerja K.N.P, 2 September 1948”, dalam
Sejarah
Asal Mula Rumusan Haluan Politik Luar Negeri Bebas Aktif
, halaman 12-65.
Indria, Donna Sita dan Anita Dewi Ambar Sari dkk (ed). 2011.
Pak Harto : The Untold
Stories
. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kansil, C.S.T. dan Julianto. 1988.
Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia.
Jakarta: Erlangga.
Kementerian Luar Negeri. 2004.
Sejarah Diplomasi RI dari Masa ke Masa
, Jakarta: Kemenlu.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2003.
Materi
Pelatihan
Guru Implementasi
Kurikulum 2013 SMA dan SMK/MAK Sejarah Indonesia
. Jakarta: BPSDM-PMK.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2003.
Model
Penilaian
Hasil Belajar
Peserta
Didik.
Jakarta: Direktorat Pembinaan SMA, Dirjen Pendidikan Menengah,
Kemendikbud.
Kementerian Sosial. 2012.
Wajah dan Perjuangan Pahlawan Nasional
. Jakarta: Direktorat.
K2KS, Kemensos RI.
Kunandar.
Penilaian
Autentik
(Penilaian Hasil belajar Peserta Didik Berdasarkan
Kurikulum 2013). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Lane, Max. 2012.
Malapetaka di Indonesia; Sebuah Esei Renungan Tentang Pengalaman
Sejarah Gerakan Kiri
. Terj. Chandra Utama. Yogyakarta: Djaman Baroe.
Leifer, Michael. 1983.
Politik Luar Negeri Indonesia.
Jakarta: Gramedia.
Mackie, Jamie. 2005.
Bandung 1955: Non-Alignment and Afro-Asian Solidarity.
Singapura :
Didier Miller PTE Ltd.
Mahmud, Amir. 1985.
Surat Perintah 11 Maret 1966 (Super Semar) Tonggak Sejarah
Perjuangan Orde Baru
. Jakarta: LP3ES.
Mas’od , Mohtar. 1989.
Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru, 1966-1971
. terj. M Rusli
Karim. Jakarta: LP3ES.
Noer, Deliar. 1991.
Mohammad Hatta: Biografi Politik
. Jakarta: LP3ES.
Notosusanto, Nugroho dan Ismail Saleh. 1989.
Tragedi Nasional: Percobaan Kup G 30 S/PKI
di Indonesia
, Jakarta: Intermasa.
Notosoetardjo. 1956.
Dokumen-dokumen
Konperensi
Medja Bundar: Sebelum, Sesudah
dan Pembubarannya
, Jakarta: Pustaka Endang.
Nugroho, Tjahyadi. 1984.
Soeharto
Bapak
Pembangunan
Indonesia
. Semarang: Yayasan
Telapak Tangan.
256
Kelas XII SMA/MA
Ong Hok Ham,
Refleksi
tentang
Peristiwa
G 30 S (Gestok)
1965 dan Akibat-Akibatnya,
OSS, 1943, Japanese
Infiltration
Among
The Muslims
Throughout
The World
, E-Asia
University of Oregon Libraries.
Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi Republik Indonesia. 2004.
Sejarah Diplomasi
Republik Indonesia dari Masa ke Masa: Periode 1945-1950
. Jakarta: Departemen Luar
Negeri Republik Indonesia.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (ed). 1984.
Sejarah Nasional
Indonesia,
Jilid VI
, Jakarta: PN Balai Pustaka.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993.
Sejarah Nasional
Indonesia VI
, Jakarta: Balai Pustaka.
Prawiro, Radius. 2004.
Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragmatisme dalam
Aksi
(edisi revisi). Jakarta: Primamedia Pustaka.
Ricklefs, MC. 2010.
Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.
Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Roeder, AG. 1976.
Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto.
Jakarta: Gunung Agung.
Salam Solichin. 1990.
Sjahrir: Wajah Seorang Diplomat
. Jakarta: Pusat Studi dan Penelitian
Islam.
Salam Solichin. 1992.
Bung Hatta: Pejuang dan Pemikir Bangsa.
Jakarta: Pusat Studi dan
Penelitian Islam.
Sastroamidjojo, Ali. 1974.
Tonggak-tonggak di Perjalananku
. Jakarta: Kinta.
Soeharto. 1989.
Soeharto Pikiran Ucapan dan Tindakan saya
.
Otobiografi
seperti
dipaparkan
G Dwipayana dan Ramadhan KH, Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada.
Soekarno. 1986.
Amanat
Proklamasi
III: 1956-1960
, Jakarta: Inti Idayu Press dan Yayasan
Pendidikan Soekarno.
-----------. 1956. “Susunlah Konstituante yang benar-benar Konstituante” :
pidato
Presiden Soekarno di Depan Dewan Konstituante.
Suasta, Putu. 2013.
Menegakkan Demokrasi Mengawal Perubahan
. Jakarta: Lestari
Kiranatana.
Southwood, Julie dan Patrick Flanagan. 2013.
Teror Orde Baru; Penyelewengan Hukum dan
Propaganda 1965-1981
. Terj. Tim Komunitas Bambu. Depok: Komunitas Bambu.
Sriyono, A. A. 2004.
Politik Luar Negeri Indonesia dalam Zaman yang Berubah
. Dalam
A. A. Sriyono,
Hubungan
Internasional :
Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia
.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suryadinata, Leo. 1998.
Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto
. Jakarta: LP3ES.
Tornquist, Olle, 2011.
Penghancuran PKI
. Terj. Harsutedjo. Depok: Komunitas Bambu.
Wilopo. 1978.
Zaman Pemerintahan Partai-Partai
, Jakarta: Yayasan Idayu.
Wilson, Donald. W. 1989.
Dari Era Pergolakan Menuju Era Swasembada
. Terj.
257
Sejarah Indonesia
Sulaeman Krisnandi. 1989. Jakarta: Yayasan Nusantara Persada.
Wuryandari, G. 2008.
Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik.
Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
Yudhoyono, Susilo Bambang. 2013.
Orasi Ilmiah Presiden SBY pada Pengukuhan Doktor
Honoris Causa dari Universitas Syiah Kuala.
Banda Aceh.
Surat Kabar/Majalah/Website
http://antaranews.com/berita/423139/enam-daerah-rawan-konflik-sosial-di-indonesia,
Februari 2014, jam 10.52.
http://www.arahjuang.com/wp-content/uploads/2014/08/16-Tahun-Reformasi-3
https://gerakanrakyatmarhaen.files.wordpress.com/2011/03/pidato-bk.jpg
http://graphics8.nytimes.com-/packages-/images/photo-/2008/01/08/0108/
SUHARTO/9485440
http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/speech/KumpulanPidato Presiden Soeharto
http://kampoengue.blogspot.com/2012/06/taman-mini-indonesia-indah-tmii.html,
2 September 2014, jam 17.15.
http://setkab.go.id./Orasi Ilmiah Presiden SBY pada Pengukuhan Doktor Honoris Causa dari
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 19 September 2013. Unduhan 7 Agustus 2014,
jam 19.20.
http://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2014/04/Presiden-Sukarno-dan-para-pemimpin-
Gerakan-Non-Blok.jpg
http://sindonews.com/
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/c/cb/Indonesia_Natsir_Cabinet.jpg
http:/upload.wikimedia.org/wikipedia/id/6/6d/Apra.JPG
http//ymun.yira.org/committees-xli/asean/. Diunduh 17 September 2014, jam. 20.03
258
Kelas XII SMA/MA
Glosarium
BUUD/KUD pemerintah Orde Baru melibatkan para petani melalui koperasi untuk
memperbaiki produksi pangan nasional. Untuk itu kemudian pemerintah mengembangkan
ekonomi pedesaan dengan menunjuk Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada dengan
membentuk Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Maka lahirlah Koperasi Unit Desa (KUD)
sebagai bagian dari derap pembangunan nasional. BUUD/KUD melakukan kegiatan
pengadaan pangan untuk stock nasional yang diperluas dengan tugas menyalurkan sarana
produksi pertanian (pupuk, benih dan obat-obatan).
Difusi Partai tahun 1971 pemerintah mengajukan gagasan penyederhanaan Parpol dengan
melakukan pengelompokkan parpol. Hasilnya, parpol Islam seperti NU, Parmusi, PSII,
dan Perti tergabung dalam kelompok Persatuan Pembangunan. Partai-partai nasionalis
seperti Partai Katolik, Parkindo, PNI, dan IPKI tergabung dalam kelompok Demokrasi
Pembangunan. Selain kedua kelompok tersebut ada pula kelompok Golkar yang
semula bernama Sekber Golkar. Pengelompokkan tersebut secara formal berlaku pula di
lingkungan DPR dan MPR.
Memasuki tahun 1973 parpol-parpol melakukan fusi kelompok Persatuan Pembangunan
sejak 5 Januari 1973 berganti nama menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Kelompok demokrasi pembangunan pada 10 Januari 1973 berganti nama menjadi Partai
Demokrasi Indonesia (PDI).
Dwi Fungsi ABRI konsep Dwifungsi ABRI adalah “jiwa, tekad dan semangat pengabdian
ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan
tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang hankam negara mapun
di bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.” Berangkat dari pemahaman tersebut, ABRI memiliki
keyakinan bahwa tugas mereka tidak hanya dalam bidang hankam namun juga non-
hankam. Sebagai kekuatan hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan
aparatur pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan “melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”
Sebagai kekuatan sosial, ABRI adalah suatu unsur dalam kehidupan politik di
lingkungan masyarakat yang bersama-sama dengan kekuatan sosial lainnya secara aktif
melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan nasional.
259
Sejarah Indonesia
Kelompencapir kepanjangan dari kelompok pendengar, pembaca, pemirsa. Merupakan salah
satu program pertanian Orde Baru yang khas, karena menyuguhkan temu wicara langsung
antara petani, nelayan, dan peternak dengan menteri atau bahkan dengan Presiden
Soeharto secara langsung. Kelompencapir merupakan program Orde Baru di bidang
pertanian yang dijalankan oleh Departemen Penerangan. Kelompencapir diresmikan
pada 18 Juni 1984, dengan keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia No.110/
Kep/ Menpen/1984. Kelompencapir juga menyelenggarakan kompetisi cerdas cermat
pertanian yang diikuti oleh para petani berprestasi dari berbagai daerah.
Keluarga Berencana untuk mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, pemerintah Orde Baru
memulai kampanye “Keluarga Berencana” yang menganjurkan setiap pasangan untuk
memiliki secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari ledakan pertumbuhan
penduduk yang nantinya dapat mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari kelaparan,
penyakit sampai kerusakan lingkungan hidup. Pengendalian pertumbuhan penduduk
juga bertujuan meningkatkan kualitas hidup rakyat Indonesia dan peningkatan
kesejahteraannya. Keberhasilan pemerintah Orde Baru untuk melakukan pengendalian
jumlah penduduk ini dicapai melalui program Keluarga Berencana Nasional yang
dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Nawaksara judul pidato presiden Soekarno pada 22 Juni 1966, menyampaikan pidato
“Nawaksara” dalam persidangan MPRS. “Nawa” berasal dari bahasa Sansekerta yang
berarti sembilan, dan “Aksara” berarti huruf atau istilah. Pidato itu berisi sembilan pokok
persoalan yang dianggap penting oleh presiden Soekarno selaku mandataris MPR. Isi
pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya peristiwa berdarah
yang terjadi pada 30 September 1965.
Pelita rencana pembangunan nasional dibuat untuk jangka panjang dan jangka menengah.
Pembangunan jangka panjang meliputi waktu 25 tahun. Pembangunan jangka menengah
dilakukan secara bertahap dan sambung-menyambung, yang setiap tahapnya berjangka
waktu lima tahun. Setiap tahap pembangunan jangka menengah ini dinamai Pembangunan
Lima Tahun (Pelita). Kebijaksanaan pembangunan setiap pelita didasarkan atas Pola
Pembangunan Jangka Panjang. Kecuali pada Pelita I, maka setiap pembangunan jangka
penjang dan pelita selalu didasarkan kepada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Tritura mengandung arti Tri Tuntutan Rakyat. Tuntutan tersebut dipelopori oleh KAMI
dan KAPPI, kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila. Pada 12
260
Kelas XII SMA/MA
Januari 1966 Front Pancasila mendatangi DPR-GR mengajukan tiga buah tuntutan yaitu
: (1) Pembubaran PKI, (2) Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G30S PKI, dan (3)
Penurunan harga/perbaikan ekonomi.
Dokumen Gilchrist dokumen atau catatan yang dibuat oleh Gilchrist, duta besa Inggris pada
tahun 1960an. Dokumen ini dijadikan alasan oleh PKI menuduh AD akan melakukan
kudeta terhadap Sukarno.
Conefo
(Conference of The New Emerging Forces)
Konferensi negara-negara yang tergabung
dalam Nefos.
Dekret Presiden 5 Juli 1959 keputusan atau ketetapan Presiden Soekarno terkait dengan
kondisi politik yang tidak stabil akibat Dewan Konstituante tidak berhasil menyelesaikan
tugasnya menyusun UUD baru. Dekret ini berisi (1)Pembubaran Dewan Konstiuante; (2)
kembali kepada UUD 1945 dan tidak berlaku lagi UUD;(2) pembentukan MPRS dan
DPAS
Demisioner keadaan tanpa kekuasaan, misal suatu kabinet yang telah mengembalikan
mandatnya kepada kepala negara, tetapi masih melaksanakan tugas sehari-hari sambil
menunggu dilantiknya kabinet baru.
Demokrasi Parlementer demokrasi yang bercirikan banyak partai, dalam pelaksanaan
pemerintahannya ditandai dengan berjalannya sistem kabinet parlementer.
Devaluasi penurunan nilai mata uang yang dilakukan dengan sengaja terhadap mata uang
asing atau terhadap emas dengan tujuan untuk memperbaiki perekonomian.
Dwikora
dwi Komando Rakyat, merupakan komando dari Presiden Sokearno untuk
melakukan konfrontasi kepada Malaysia yang diucapkan pada tanggal 3 Mei 1964. (1)
perhebat ketahanan Revolusi Indonesia (2) bantu perjuangan revolusioner rakyat Manila,
Singapura, Sabah Serawak dan Brunei untuk membubarkan negara boneka Malaysia.
Game of The Emerging Forces
(Ganefo) merupakan salah satu proyek mercusuar Presiden
Soekarno untuk menyelenggaraan pesta olah raga negara-negara
New Emerging Forces.
Inflasi
kemerosotan
nilai mata uang yang karena
banyaknya
dan cepatnya
uang beredar
sehingga menyebabkan naiknya harga barang-barang secara tidak terkendali.
Konfrontasi cara menentang musuh atau kesulitan dengan berhadapan langsung atau terang-
terangan. Misalnya konfrontasi Indonesia dan Malaysia.
Konsepsi Presiden 1957 konspesi Presiden Soekarno yang bertujuan untuk mengatasi dan
menyelesaikan krisis kewibawaan kabinet yang sering dihadapi dengan dibentuknya
261
Sejarah Indonesia
kabinet yang anggotanya terdiri atas 4 partai pemenang pemilu dan dibentuknya Dewan
Nasional.
Konstituante dewan pembuat Undang-Undang Dasar yang dipilih berdasarkan Pemilihan
Umum 1955. Hal ini diatur dalam UUD Sementara 1950.
Mutual Security Act
(MSA) : Dasar adanya penandatangan persetujuan bantuan ekonomi,
teknik dan persenjataan dari Amerika Serikat kepada Indonesia. Kasus inilah yang
menyebakan kabinet Sukiman bubar.
NEFOS (
New Emerging Forces)
kelompok negara-negara berkembang yang anti imperialis
dan kolonialis.
Normalisasi pembukaan kembali hubungan diplomasi Indonesia dengan negara-negara
tetangga di kawasan regional dan internasional.
Old Estables Forces
(OLDEFOS ) kelompok negara-negara imperialis/ kolonialis kapitalis
dan negara-negara berkembang yang cenderung pada kelompok imperialis/ kolonialis.
Oposisi merupakan kekuatan pengontrol terhadap penguasa yang memiliki sikap yang
berbeda dengan penguasa.
Panca Usaha Tani
merupakan program yang dicanangkan pemerintah orde baru untuk
meningkatkan produksi pangan, terutama beras.
Perang Dingin situasi politik dunia yang terjadi karena adanya perseteruan dua ideologi dari
dua negara adkuasai yaitu Amerika Serikat yang mewakili blok barat dan Uni Soviet
yang mewakili Blok Timur.
Politik Mercusuar merupakan kebijakan politik yang diterapkan Soekarno pada masa
demokrasi terpimpin yang ingin menunjukkan kemegahan di tengah pergaulan antar
bangsa.
PRRI merupakan pemberontakan yang terjadi akibat adanya ketidakpuasan beberapa daerah
di wilayah Indonesia terhadap pemerintahan pusat.
Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional.
Reses masa waktu istirahat antar sidang, biasanya dimiliki oleh lembaga legislatif dan
konstituante
Reshuffle
pergantian, biasanya dimaksudkan untuk pergantian kabiet.
Sanering
kebijakan pemotongan nilai mata uang oleh negara untuk menstabilkan nilai mata
uang.
262
Kelas XII SMA/MA
Separatisme gerakan pengacau keamanan yang bertujuan untuk memisahkan diri dari negara
kesatuan republik Indonesia.
Trikora (Tiga Komando Rakyat) merupakan komando dari Presiden Sokearno untuk
melakukan perlawanan secara militer kepada Belanda.
Tritura (Tiga Tuntutan rakyat) merupakan tuntutan yang diajukan mahasiswa dan masyarakat
kepada rejim Sokearno untuk memulihkan keadaan nasional.
UNAMET
(United Nations Mission in East Timor)
Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
kasus Timor Timur.
263
Sejarah Indonesia
Profil Penulis
Nama Lengkap
: Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum.
Telp Kantor/HP
: 0818947323
Alamat Kantor
: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia (FIB-UI)
Bidang Keahlian
: Sejarah
Riwayat pekerjaan/profesi dalam 10 tahun terakhir:
1.
2009—2010 : Sekretaris Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan)
2.
2011—2013 : Staf Ahli Menteri Pertahanan R.I. Bidang Politik.
3.
2013—2015 : Ketua Lembaga Pengembangan dan Penjaminan Mutu Universitas
Pertahanan (Unhan)
4.
2016--
: Ketua Dewan Guru Besar FIB-UI
Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:
1.
S3: Program Pasca Sarjana UI Program Studi Ilmu Sejarah (1993--1999.
2.
S2: Sandwich Program Vrije Universiteit Amsterdam & Program Pasca Sarjana UI
Program Studi Ilmu Sejarah (1988--1991)
3.
S1: Fakultas Sastra UI Jjurusan/Program Studi Ilmu Sejarah (1972--1979)
Judul Buku dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir):
1.
Integrasi Bangsa Dalam Bingkai Keindonesiaan, (Jakarta, Wedatama Widya Sastra
(2017).
2.
Bogor Zaman Jepang 1942—1945. Depok, Komunitas Bambu, 2017.
3.
Cilacap 1830—1942: Bangkit dan Jatuhnya Sebuah Pelabuhan di Jawa (Yogya-
karta, Ombak, 2016)
4.
Perang Buton vs Komopeni Belanda 1972—1776: Mengenang Kepahlawanan La
Karambau. (Depok, Komunitas Bambu, 2015).
5.
Nasionalisme, Laut, & Sejarah. (Depok, Komunitas Bambu, 2014).
Judul Penelitian dan Tahun Terbit (5 Judul Terakhir):
1.
Budaya Bahari dan Integrasi (2017) Belum terbit.
2.
Pemekaran Wilayah & Politik Ruang: Wacana Filsafat, Sejarah, dan Budaya
(2017) Belum Terbit
3.
Diaspora Orang Buton (2009) dalam proses terbit 2018.
264
Kelas XII SMA/MA
Nama Lengkap
: Dr. Linda Sunarti
Telp Kantor/HP
: 021 7270038/7875316
Alamat Kantor
: Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia, Gd.3, Lt.3, Kampus UI
Depok 16424
Bidang Keahlian
: Sejarah Diplomasi Indonesia dan Asia
Tenggara
Riwayat pekerjaan/profesi dalam 10 tahun terakhir:
1.
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Sejarah (1996- sekarang)
2.
Ketua Program Studi Ilmu Sejarah FIB-UI (2013- sekarang)
3.
Ketua Perkumpulan Program Studi Sejarah SeIndonesia (PPSI) (2015-sekarang)
Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:
1.
S3 : Departemen Ilmu Sejarah , Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia (2008-2013)
2.
S2 : Departemen Ilmu Sejarah , FIB-UI (1998-2001)
3.
S1 : Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Sastera UI (1988-1994)
Judul Buku dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir):
1.
Dari Dewan Pertahanan Negara Sampai Dewan Ketahanan Nasional, Sekretariat
Jenderal Dewan Pertahanan Nasional, Kemenhan RI, 2009
2.
Toponimi Jakarta, Direktorat Nilai Sejarah dan Nilai Tradisi Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata (2010)
3.
Basuki Abdullah dan Karya Lukisannya : Tema Sejarah dan Sosial, Museum
Basuki Abdullah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud RI (2014)
4.
Persaudaraan Sepanjang Hayat? Mencari Jalan Penyelesaian Damai Konfrontasi
Indonesia-Malaysia 1963-1966. Serat Alam Media. Jakarta (2014)
5.
Presiden-Presiden Republik Indonesia 1945-2014. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI, Jakarta (2014)
265
Sejarah Indonesia
Nama Lengkap
: Arif Pradono, S.S., M.I.Kom.
Telp Kantor/HP
: -
Alamat Kantor
: Rangkapan Jaya Baru, Jl. Batas,
Pancoran Mas, Depok
Bidang Keahlian
: Sejarah
Riwayat pekerjaan/profesi dalam 10 tahun terakhir:
1.
Dengan mengajar di sebuah Desa Tertinggal (1993-1996)
2.
Wakil Kepala Bidang Akademik dan Kepala Sekolah Dian Ilmu-Labschool Cinere
(2002 – 2008)
3.
pengajar di Universitas Terbuka dan aktif dalam penulisan berbagai buku dan
penelitian di AISIS.
4.
Turut membidani pendirian Sekolah Tinggi Bisnis “Millennia” Jakarta (2015–2016)
5.
Dosen di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (sekarang)
Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:
1.
S2 : program fellowship di Paramadina Graduate School di bidang Komunikasi
Politik (2011 – 2013),
2.
S1: Jurusan Sejarah Universitas Indonesia (1988 – 1994)
Judul Buku dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir):
-
DARI
KITA BERPIJAK
PAJAK
266
Kelas XII SMA/MA
Nama Lengkap
: Dr. Abdurakhman
Telp Kantor/HP
: -
Alamat Kantor
: Jalan Ketapang No. 39 Rt. 04 Rw. 09
Pondokcina Depok 16424 Jawa Barat
Bidang Keahlian
: Sejarah Indonesia Kontemporer dan
Sejarah Pemikiran Islam di Indonesia
Riwayat pekerjaan/profesi dalam 10 tahun terakhir:
1.
Dosen di Program Studi Ilmu Sejarah FIB UI sejak tahun (1993)
2.
Ketua Program Studi Ilmu Sejarah periode (2008-2012)
3.
Saat ini menjabat sebagai Ketua Departemen Ilmu Sejarah untuk periode
(2015-2019)
Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:
1.
S3: Program Doktoral Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia (2013)
2.
S2: Program Pascasarjana Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia (2003)
2.
S1: Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, (1993)
Judul Buku dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir):
-
NARKOBA,
PENJAJAH
TANPA WAJAH
267
Sejarah Indonesia
Profil Penelaah
Nama Lengkap
: Baha` Uddin, S.S., M.Hum
Telp Kantor/HP
: 0274-513096/081226563523
Alamat Kantor
: Fakultas Ilmu Budaya UGM, Jl. Sosio-Humaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta
Bidang Keahlian
: Sejarah Indonesia
Riwayat pekerjaan/profesi dalam 10 tahun terakhir:
1.
Staf Pengajar, Jurusan Sejarah, FIB-UGM (1999- sekarang)
2.
Staf Peneliti, Pusat Studi Korea UGM (1998-sekarang)
3.
Staf Peneliti Pusat Manajemen Kesehatan Pelayanan Kesehatan FK-UGM
(2000-2001)
4.
Staf Dewan Kebudayaan Prop. DIY
(2005)
5.
Anggota Revisi Kurikulum IPS Sejarah SMA, BSNP,Depdiknas
(2005-2006)
6.
Anggota Unit Laboratorium Terpadu FIB UGM (2006-sekarang)
7.
Dosen Pembimbing Lapangan KKN PPM Pembrantasan Buta Aksara LPPM UGM
di Jember, Jatim (2006)
8.
Dosen Pembimbing Lapangan KKN PPM Pembrantasan Buta Aksara LPPM UGM
di Jember dan Banyuwangi, Jatim (2007)
9.
Dosen Pembimbing Lapangan KKN PPM Pembrantasan Buta Aksara, LPPM UGM
di Wonosobo, Jawa Tengah (2008)
10.
Dosen Pembimbing Tutor Program Layanan Masyarakat Pembrantasan Buta
Aksara, LPPM UGM di Wonosobo, Jawa Tengah (2008)
11.
Reviewer Buku Pelajaran IPS Sejarah SMU, BNSP Depdiknas (2007)
12.
Bendahara Jurusan Sejarah FIB UGM (2007 - 2012)
13.
Sekretaris Jurusan Sejarah FIB-UGM (2007-2015)
14.
Reviewer Buku Pelajaran IPS Sejarah SD & SMP, BSNP Depdiknas (2008)
15.
Tim Teknis Program Layanan Masyarakat Pembrantasan Buta Aksara LPPM UGM
(2008)
16.
Reviewer Buku Pelajaran Sejarah Kurikulum 2013 (2013-2015)
Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:
1.
S2: Program Pascasarjana/Program Studi Humaniora/Universitas Gadjah Mada
(2000 – 2005)
2.
S1: Fakultas Sastra/Jurusan Sejarah/Prodi Ilmu Sejarah/Universitas Gadjah Mada
(1993 – 1998)
Judul Buku Yang Telah Ditelaah dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir):
1.
Penelaah Buku Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Umum dan
Sederajat-Depdiknas (2007)
2.
Penelaah Buku Mata Pelajaran IPS Terpadu untuk Sekolah Dasar dan Sekolah
Menengah Pertama-Depdiknas (2008)
268
Kelas XII SMA/MA
3.
Penelaah Buku Pelajaran IPS Sejarah SD & SMP-Depdiknas (2008)
4.
Penelaah Buku Pelajaran IPS Sejarah SMA-Depdiknas (2011)
5.
Penelaah Buku Pengayaan IPS dan Sejarah Kurikulum 2013-Kemendikbud (2013)
5.
Penelaah Buku Palajaran Sejarah Kelas XI Kurikulum 2013-Kemendikbud (2013)
7.
Penelaah Buku Palajaran Sejarah Kelas XII Kurikulum 2013-Kemendikbud (2013)
8.
Penelaah Buku Non-Teks IPS dan Sejarah Kurikulum 2013-Kemendikbud (2014)
9.
Penelaah Buku Pelajaran Sejarah Indonesia Kelas X SMALB Kurikulum 2013-Ke
mendikbud (2015)
10.
Penelaah Buku Pelajaran Sejarah Indonesia Kelas XI SMALB Kurikulum 2013-Ke
mendikbud (2015)
Judul Penelitian (10 Tahun Terakhir):
1.
Pemahaman Antarbudaya dan Budaya Kerja pada Karyawan PT LG Electronics
Indonesia, Legok, Tangerang, Banten (2005)
2.
Dari Mantri Hingga Dokter Jawa: Studi Tentang Kebijakan Pemerintah Kolonial
dalam Penanganan Penyakit Cacar dan Pengaruhnya terhadap Pelayanan
Kesehatan Masyarakat Jawa pada Abad XIX sampai Awal Abad XX (2006)
3.
Studi Teknis Tamansari Pasca Gempa Bidang Sejarah (2007)
4.
Sejarah Perkembangan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (2008)
5.
Dinamika Pergerakan Perempuan di Indonesia (2009)
6.
Lebaran dan Kontestasi Gaya Hidup: Perubahan sensibilitas Masyarakat Gunung
Kidul Tahun 1990-an (2009)
7.
Dari Gropyokan hingga Sayembara: Studi Kebijakan Pemerintah Lokal Kadipaten
Pakualaman dalam Pengendalian Penyakit Pes Tahun 1916 - 1932 (2009)
8.
Sejarah dan Silsilah Kesultanan Kotawaringin (2009)
9.
Hari Jadi Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta (2010)
10.
Kebijakan Propaganda Kesehatan pada Masa Kolonial di Jawa (2010)
11.
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Komunitas dalam Bidang Kesehatan dan
Pembangunan Pedesaan di Banjarnegara 1972-1989 (2011)
12.
Antara Tradisi dan Mentalitas: Dinamika Kehidupan Komunitas Pengemis di
Dusun Wanteyan, Grabag, Magelang (2011)
13.
Penyakit Sosial Masyarakat di Kadipaten Pakualaman pada masa Pakualam VIII
(1906-1937) (2012)
14.
Warisan Sejarah, Preservasi dan Konflik Sosial Di Ujung Timur Jawa:
Pemberdayaan Masyarakat Lokal Dan Penyelamatan Warisan Sejarah Dan
Budaya Situs Kerajaan Macan Putih Di Kabupaten Banyuwangi (2012)
15.
Kretek Indonesia: Dari Nasionalisme Hingga Warisan Budaya (2013)
16.
Sejarah Nasionalisasi Aset-aset BUMN: Dari Perusahaan Kolonial Menjadi
Perusahaan Nasional (2013)
17.
Westernisasi dan Paradoks Kebudayaan: Elit Istana Jawa Pada Masa Paku Alam V
(1878-1900) (2013)
18.
Pemetaan Daerah Rawan Konflik Sosial di DIY (2013)
19.
Bangsawan Terbuang: Studi Tentang Transformasi Identitas Bangsawan Jawa di
Ambon 1718-1980an (2014)
20.
Kajian Hari Jadi Daerah Istimewa Yogyakarta (2015)
21.
Ensiklopedi Budaya Kabupaten Kulonprogo (2015)
269
Sejarah Indonesia
Nama Lengkap
: Prof. Dr. Hariyono, M.Pd
Telp Kantor/HP
: 0341-562778 / 0818380812
Alamat Kantor
: Jl. Semarang 5 Malang
Bidang Keahlian
: Sejarah Indonesia
Riwayat pekerjaan/profesi dalam 10 tahun terakhir:
1.
Dosen Sejarah di Universitas Negeri Malang (1988 – sekarang)
Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:
1.
S3: Fakultas Ilmu Budaya / Ilmu Sejarah / Universitas Indonesia (1999 – 2004)
2.
S2: PPs / Pendidikan Sejarah / IKIP Jakarta (1990 – 1995)
3.
S1: Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial/Pendidikan Sejarah/IKIP Malang
(1982 – 1986)
Judul Buku Yang Telah Ditelaah dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir):
1.
Nasionalisme Indonesia, Kewarganegaraan dan Pancasila. Malang. UM Press
(2010)
2.
Kedaulatan Indonesia Dalam Perjalanan Sejarah Politik. Malang. UM Press (2011)
3.
Nasionalisme dan Generasi Muda Indonesia. Surabaya. Sekretariat Daerah
Propinsi Jawa Timur (2012)
4.
Arsitektur Demokrasi Indonesia; Gagasan Awal Demokrasi Para Pendiri Bangsa.
Malang. Setara Press (2013)
5.
Dinamika Revolusi Nasional. Malang. Aditya Media (2013)
6.
Ideologi Pancasila, Roh Progresif Nasionalisme Indonesia. Malang. Intrans
Publishing (2014)
Judul Penelitian (10 Tahun Terakhir):
1.
Pemikiran Demokrasi menurut Pendiri Bangsa
2.
Sistem Among : Pemikiran Ki Hajar Dewantara
3.
Kekuasaan Raffles di Indonesia
270
Kelas XII SMA/MA
Nama Lengkap
: Dr. Mohammad Iskandar
Telp Kantor/HP
: 08129689391
Alamat Kantor
: Komplek UI, Jl. Margonda Raya, Depok, Jabar
Bidang Keahlian
: Sejarah
Riwayat pekerjaan/profesi dalam 10 tahun terakhir:
1.
Dosen Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia, Depok (2010 – 2016)
Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:
1.
S3: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/Program Studi Sejarah – Universitas
Indonesia
2.
S2: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/Program Studi Sejarah – Universitas
Indonesia
3.
S1: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/Program Studi Sejarah – Universitas
Indonesia
Judul Buku Yang Telah Ditelaah dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir):
1.
Buku Sejarah Indonesia untuk SMA/MA Kelas XI (Erlangga -2013)
2.
Buku Sejarag Indonesia untuk SMA/MA Kelas XII (Erlangga – 2014)
3.
Sejarah Para Pemikir Indonesia (Depbudpar – 2004)
4.
Sejarah Kebudayaan Indonesia: Sistem Ilmu Pengetahuan (Raja Grafindo Persada/
Rajawali Pers – 2009)
Judul Penelitian (10 Tahun Terakhir):
1. De Javascge Bank 1828 – 1953. (Bank Indonesia – 2014)
2. Perjuangan bangsa mendirikan Bank Sentral (Bank Indonesia – 2015)
271
Sejarah Indonesia
Profil Editor
Nama Lengkap
: Imtam Rus Ernawati, S.S
Telp Kantor/HP
: 08886773802
Alamat Kantor
: PT Intan Pariwara Jalan Ki Hajar Dewantoro, Klaten
Bidang Keahlian
: Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan
Riwayat pekerjaan/profesi dalam 10 tahun terakhir:
1.
2015 – 2017 : General Manager Product Planning and Controlling PT Intan
Pariwara
2.
2006 – 2015: Product Manager PT Cempaka Putih (Intan Pariwara Group)
3.
2003 – 2006 : Product Leader Ilmu-ilmu Sosial
4.
2002-2003 : Penulis/Editor Sejarah dan IPS
Riwayat Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar:
1.
S1: Sejarah/Fakultas Ilmu Budaya/Universitas Gadjah Mada (1991-2001)
Judul Buku Yang Telah Ditelaah dan Tahun Terbit (10 Tahun Terakhir):
1. Sistem Informasi dan Administrasi Kependudukan, Penerbit Cempaka Putih, 2016
2. Tertib Administrasi Kependudukan, Penerbit Cempaka Putih, 2016
3. Permasalahan Penduduk Perkotaan, Penerbit Cempaka Putih, 2016
4. Globalisasi dan Masalah Kependudukan, Penerbit Cempaka Putih, 2016
5. Penduduk Indonesia dalam Berbagai Konstitusi, Penerbit Cempaka Putih, 2016
6. Hak dan Kewajiban Penduduk Indonesia Menurut UUD 1945, Penerbit Cempaka
Putih
7. Buku Teks Sejarah SMA Kelas X-XII, Penerbit Cempaka Putih, 2011
8. Buku Evaluasi Sejarah SMA, Kelas X-XII Penerbit Intan Pariwara, 2011
9. BukuTeks IPS SD Kelas I-VI Penerbit Cempaka Putih, 2008
10. Buku Teks IPS SMP Kelas VII-IX Penerbit Cempaka Putih, 2008
11. Buku Evaluasi IPS SD Penerbit Cempaka Putih, 2012
12. Buku Pengayaan IPS SD, Penerbit Cempaka Putih, 2009
13. Buku Pengayaan IPS SMP, Penerbit Cempaka Putih, 2009
14. Buku Pengayaan Sejarah SMP dan Sejarah SMA, Penerbit Cempaka Putih, 2009
Judul Penelitian (10 Tahun Terakhir):
-
272
Kelas XII SMA/MA
SEHAT
KUAT
HEBAT
TANPA
NARKOBA